Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Kepala P2LH-SDA Universitas Mulawarman, Samsul Rizal saat ditemui Seputar Fakta di ruangannya, Senin (3/6/2024). (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda – Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (P2LH-SDA) Universitas Mulawarman, Samsul Rizal, mengonfirmasi bahwa perubahan warna hijau pada Sungai Karang Mumus (SKM) disebabkan oleh proses eutrofikasi karena tingkat kesuburan dalam air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat kesuburan perairan menjadi faktor utama.
Meski kadar kesuburan dalam air itu tinggi, Rizal menyatakan bahwa hal itu tidak baik jika berlebihan.
Di mana akan terjadi dekomposisi bahan organik yang dalam prosesnya memerlukan oksigen dalam air.
Ia membeberkan bahwa indikator utama kesuburan itu terlihat dengan adanya peningkatan kadar klorofil a dalam air.
“Klorofil a lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan sore. Ketika hujan turun, warna air berubah ke warna sungai biasanya, karena klorofil terurai oleh hujan,” ungkap Rizal pada Seputar Fakta, (3/6/2024).
Selain itu, tingginya kadar nitrogen dan fosfat dalam air menandakan keberadaan bahan organik yang tinggi di dalam air SKM.
Rizal menambahkan bahwa kejadian ini tidak akan terjadi sekali saja. Fenomena ini dapat terjadi lagi di kemudian hari.
"Jika pemicunya datang lagi, sungai akan kembali berubah hijau. Contohnya, Jumat (31/5/2024) kemarin dari pagi sampai siang cuaca panas, air kembali hijau karena eutrofikasi," jelasnya.
Salah satu penyebab utama eutrofikasi ini adalah aktivitas masyarakat di sekitar sungai dan pasar.
Berdasarkan data yang diperoleh, wilayah yang memiliki bahan organik tinggi berasal dari limbah domestik, termasuk kotoran dan sampah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPA) komunal.
"Termasuk dari bekas air cucian.
Sepanjang sungai itu kan belum ada IPA komunal yang mengolah limbah, masyarakat langsung membuang semua ke sungai," bebernya.
Kemudian fenomena eutrofikasi ini tidak memiliki waktu pasti terjadi, tergantung pada kondisi alam dan kandungan bahan organik di perairan.
"Di daerah SKM di Jalan Tarmidi, warna air lebih hijau karena masih banyak masyarakat yang tinggal di sana dan dekat dengan pasar," ungkap Rizal.
Rizal menekankan pentingnya penelusuran dari hulu ke hilir oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kota, serta balai wilayah sungai (BWS).
Program yang sudah ada seperti merapikan bantaran sungai atau normalisasi sungai dinilai sudah baik untuk antisipasi dampak buruk air sungai ke depannya.
Ia juga membedakan fenomena ini dengan air bangar, yang terjadi karena dekomposisi bahan organik di hulu sungai.
“Air bangar memerlukan oksigen untuk proses pembusukan, sehingga menghabiskan oksigen. Namun, warna air tetap biasa saja, tidak hijau seperti pada kasus eutrofikasi," ungkapnya.
Mengenai dampak pada air yang digunakan masyarakat, ia belum dapat memberikan kepastian tanpa sampel dan penelitian lebih lanjut.
Selain perubahan warna, fenomena ini juga dapat menyebabkan kematian ikan secara mendadak karena adanya perebutan oksigen di dalam air oleh beberapa biota yang tinggal.
"Ikan mati karena berebut oksigen terlarut dengan alga. Ketika alga dominan, seperti jenis fito plankton yang dari tumbuhan, mereka bersaing dengan ikan untuk mendapatkan oksigen," tuturnya.
Sebagai informasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eutrofikasi adalah proses perkembangbiakan tumbuhan air yang cepat karena zat makanan berlimpah akibat pemupukan nutrisi yang berlebih.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Kepala P2LH-SDA Universitas Mulawarman, Samsul Rizal saat ditemui Seputar Fakta di ruangannya, Senin (3/6/2024). (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda – Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (P2LH-SDA) Universitas Mulawarman, Samsul Rizal, mengonfirmasi bahwa perubahan warna hijau pada Sungai Karang Mumus (SKM) disebabkan oleh proses eutrofikasi karena tingkat kesuburan dalam air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat kesuburan perairan menjadi faktor utama.
Meski kadar kesuburan dalam air itu tinggi, Rizal menyatakan bahwa hal itu tidak baik jika berlebihan.
Di mana akan terjadi dekomposisi bahan organik yang dalam prosesnya memerlukan oksigen dalam air.
Ia membeberkan bahwa indikator utama kesuburan itu terlihat dengan adanya peningkatan kadar klorofil a dalam air.
“Klorofil a lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan sore. Ketika hujan turun, warna air berubah ke warna sungai biasanya, karena klorofil terurai oleh hujan,” ungkap Rizal pada Seputar Fakta, (3/6/2024).
Selain itu, tingginya kadar nitrogen dan fosfat dalam air menandakan keberadaan bahan organik yang tinggi di dalam air SKM.
Rizal menambahkan bahwa kejadian ini tidak akan terjadi sekali saja. Fenomena ini dapat terjadi lagi di kemudian hari.
"Jika pemicunya datang lagi, sungai akan kembali berubah hijau. Contohnya, Jumat (31/5/2024) kemarin dari pagi sampai siang cuaca panas, air kembali hijau karena eutrofikasi," jelasnya.
Salah satu penyebab utama eutrofikasi ini adalah aktivitas masyarakat di sekitar sungai dan pasar.
Berdasarkan data yang diperoleh, wilayah yang memiliki bahan organik tinggi berasal dari limbah domestik, termasuk kotoran dan sampah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPA) komunal.
"Termasuk dari bekas air cucian.
Sepanjang sungai itu kan belum ada IPA komunal yang mengolah limbah, masyarakat langsung membuang semua ke sungai," bebernya.
Kemudian fenomena eutrofikasi ini tidak memiliki waktu pasti terjadi, tergantung pada kondisi alam dan kandungan bahan organik di perairan.
"Di daerah SKM di Jalan Tarmidi, warna air lebih hijau karena masih banyak masyarakat yang tinggal di sana dan dekat dengan pasar," ungkap Rizal.
Rizal menekankan pentingnya penelusuran dari hulu ke hilir oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kota, serta balai wilayah sungai (BWS).
Program yang sudah ada seperti merapikan bantaran sungai atau normalisasi sungai dinilai sudah baik untuk antisipasi dampak buruk air sungai ke depannya.
Ia juga membedakan fenomena ini dengan air bangar, yang terjadi karena dekomposisi bahan organik di hulu sungai.
“Air bangar memerlukan oksigen untuk proses pembusukan, sehingga menghabiskan oksigen. Namun, warna air tetap biasa saja, tidak hijau seperti pada kasus eutrofikasi," ungkapnya.
Mengenai dampak pada air yang digunakan masyarakat, ia belum dapat memberikan kepastian tanpa sampel dan penelitian lebih lanjut.
Selain perubahan warna, fenomena ini juga dapat menyebabkan kematian ikan secara mendadak karena adanya perebutan oksigen di dalam air oleh beberapa biota yang tinggal.
"Ikan mati karena berebut oksigen terlarut dengan alga. Ketika alga dominan, seperti jenis fito plankton yang dari tumbuhan, mereka bersaing dengan ikan untuk mendapatkan oksigen," tuturnya.
Sebagai informasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eutrofikasi adalah proses perkembangbiakan tumbuhan air yang cepat karena zat makanan berlimpah akibat pemupukan nutrisi yang berlebih.
(Sf/Rs)