Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Mulyadin. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Kalimantan Timur, yang dijadwalkan mulai awal Juli 2025, kembali menjadi sorotan.
Pasalnya, dugaan maladministrasi dan penyimpangan dalam proses penerimaan peserta didik kerap menghantui setiap tahunnya, memicu keluhan luas dari masyarakat.
Merespons kondisi ini, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalimantan Timur turun tangan dengan membuka posko pengaduan khusus.
Langkah tegas ini diambil Ombudsman Kaltim sebagai bentuk pengawasan aktif terhadap sektor pendidikan, khususnya dalam menjamin transparansi dan keadilan SPMB.
"Kami berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan yang masuk dan memastikan hak-hak masyarakat terlindungi dari potensi maladministrasi," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Mulyadin pada Jum’at (13/6/2025).
Masyarakat yang mencurigai adanya penyimpangan selama SPMB di jenjang SD, SMP, hingga SMA, didorong untuk segera melapor.
Pengaduan bisa disampaikan melalui nomor telepon +62 811-1713-737 atau dengan datang langsung ke kantor Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Timur.
Mulyadin menjelaskan, pengawasan SPMB oleh Ombudsman RI adalah agenda rutin tahunan yang mencakup pra-pelaksanaan, saat pelaksanaan, hingga pasca-pelaksanaan. Tujuannya jelas, yakni memastikan pelayanan publik di sektor pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Hasil pengawasan ini akan menjadi cerminan komitmen kami dalam mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan SPMB," tambahnya.
Berdasarkan pengawasan nasional tahun 2024, ketika SPMB masih dikenal sebagai PPDB, Ombudsman RI menemukan sejumlah celah serius.
Pada tahap pra-PPDB, misalnya, belum ada pemetaan yang memadai dari pemerintah daerah terkait proyeksi daya tampung, pembagian zonasi, hingga pendataan keluarga tidak mampu dan disabilitas.
Ini menunjukkan kurangnya persiapan yang bisa berujung pada masalah saat pelaksanaan.
Salah satu isu krusial yang menjadi perhatian Ombudsman Kaltim adalah polemik pemindahan SMA 10 Samarinda ke Gedung A Kampus Melati di Samarinda Seberang.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan, Dwi Farisa Putra Wibowo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima dua aduan terkait perpindahan ini.
"Keluhan ini berdampak langsung pada pelaksanaan SPMB yang sedang berjalan di sekolah tersebut," jelas Dwi Farisa.
Ia menegaskan, esensi dari SPMB adalah mendekatkan peserta didik dengan fasilitas pendidikan sesuai domisili, selain pemerataan akses pendidikan.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur diminta untuk memastikan hak-hak peserta didik dan orang tua yang mendaftar SPMB 2025 di Gedung B SMA 10 Samarinda tidak terabaikan.
Ombudsman juga menyoroti belum adanya payung hukum yang jelas mengenai sekolah berasrama di Kalimantan Timur, padahal hal ini diatur dalam Pasal 73 Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kalimantan Timur.
Dwi Farisa menambahkan, Pasal 7 huruf e Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 Tentang SPMB secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah berasrama dikecualikan dalam pelaksanaan SPMB.
Mengingat SMA 10 Samarinda adalah salah satu sekolah berasrama, Dwi Farisa berpandangan lain, bahwa untuk asrama harusnya tidak masuk SPMB.
"Sekolah berasrama tidak bisa melaksanakan penerimaan jalur asrama sekaligus jalur SPMB,” ujarnya.
Terakhir, Dwi Farisa meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim untuk segera menata regulasi dan praktik di lapangan demi menghindari potensi maladministrasi lebih lanjut dalam SPMB 2025.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Mulyadin. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Kalimantan Timur, yang dijadwalkan mulai awal Juli 2025, kembali menjadi sorotan.
Pasalnya, dugaan maladministrasi dan penyimpangan dalam proses penerimaan peserta didik kerap menghantui setiap tahunnya, memicu keluhan luas dari masyarakat.
Merespons kondisi ini, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalimantan Timur turun tangan dengan membuka posko pengaduan khusus.
Langkah tegas ini diambil Ombudsman Kaltim sebagai bentuk pengawasan aktif terhadap sektor pendidikan, khususnya dalam menjamin transparansi dan keadilan SPMB.
"Kami berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan yang masuk dan memastikan hak-hak masyarakat terlindungi dari potensi maladministrasi," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Timur, Mulyadin pada Jum’at (13/6/2025).
Masyarakat yang mencurigai adanya penyimpangan selama SPMB di jenjang SD, SMP, hingga SMA, didorong untuk segera melapor.
Pengaduan bisa disampaikan melalui nomor telepon +62 811-1713-737 atau dengan datang langsung ke kantor Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Timur.
Mulyadin menjelaskan, pengawasan SPMB oleh Ombudsman RI adalah agenda rutin tahunan yang mencakup pra-pelaksanaan, saat pelaksanaan, hingga pasca-pelaksanaan. Tujuannya jelas, yakni memastikan pelayanan publik di sektor pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Hasil pengawasan ini akan menjadi cerminan komitmen kami dalam mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan SPMB," tambahnya.
Berdasarkan pengawasan nasional tahun 2024, ketika SPMB masih dikenal sebagai PPDB, Ombudsman RI menemukan sejumlah celah serius.
Pada tahap pra-PPDB, misalnya, belum ada pemetaan yang memadai dari pemerintah daerah terkait proyeksi daya tampung, pembagian zonasi, hingga pendataan keluarga tidak mampu dan disabilitas.
Ini menunjukkan kurangnya persiapan yang bisa berujung pada masalah saat pelaksanaan.
Salah satu isu krusial yang menjadi perhatian Ombudsman Kaltim adalah polemik pemindahan SMA 10 Samarinda ke Gedung A Kampus Melati di Samarinda Seberang.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan, Dwi Farisa Putra Wibowo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima dua aduan terkait perpindahan ini.
"Keluhan ini berdampak langsung pada pelaksanaan SPMB yang sedang berjalan di sekolah tersebut," jelas Dwi Farisa.
Ia menegaskan, esensi dari SPMB adalah mendekatkan peserta didik dengan fasilitas pendidikan sesuai domisili, selain pemerataan akses pendidikan.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur diminta untuk memastikan hak-hak peserta didik dan orang tua yang mendaftar SPMB 2025 di Gedung B SMA 10 Samarinda tidak terabaikan.
Ombudsman juga menyoroti belum adanya payung hukum yang jelas mengenai sekolah berasrama di Kalimantan Timur, padahal hal ini diatur dalam Pasal 73 Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kalimantan Timur.
Dwi Farisa menambahkan, Pasal 7 huruf e Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 Tentang SPMB secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah berasrama dikecualikan dalam pelaksanaan SPMB.
Mengingat SMA 10 Samarinda adalah salah satu sekolah berasrama, Dwi Farisa berpandangan lain, bahwa untuk asrama harusnya tidak masuk SPMB.
"Sekolah berasrama tidak bisa melaksanakan penerimaan jalur asrama sekaligus jalur SPMB,” ujarnya.
Terakhir, Dwi Farisa meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim untuk segera menata regulasi dan praktik di lapangan demi menghindari potensi maladministrasi lebih lanjut dalam SPMB 2025.
(Sf/Rs)