Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar. (Foto: Maulana/seputarfakta.com)
Samarinda - Rencana pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 sebesar Rp650 triliun menuai kekhawatiran.
Angka itu setara penurunan 24,7 persen dan dinilai memprioritaskan belanja pusat dibanding daerah.
Bagi Kalimantan Timur (Kaltim), pemotongan ini berdampak signifikan karena Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi tulang punggung APBD Kaltim diperkirakan bakal menyusut hingga Rp5 triliun pada 2026. Padahal, APBD Kaltim saat ini ditetapkan sebesar Rp21,3 triliun.
Di tengah ancaman besar ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar, heran melihat sikap elite daerah yang terkesan "pasrah".
Ia menilai, tidak ada suara keras dari Gubernur maupun Ketua DPRD Kaltim untuk menolak rencana pemotongan tersebut.
“Ekspresi gubernur maupun ketua DPRD biasa-biasa saja, seolah pasrah. Padahal mereka mewakili rakyat Kaltim yang selama ini hanya mendapat porsi kecil dari sumber daya alamnya,” ujar Saipul.
Padahal, kata Saipul, sikap pasif tersebut tidak hanya merugikan pemerintah daerah dalam melaksanakan program kerja, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Proyek infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan program pendidikan berpotensi terhambat.
Saipul menegaskan, seorang kepala daerah tidak sedang mewakili dirinya atau kelompok tertentu, melainkan jutaan rakyat.
Ia mengingatkan bahwa Kaltim telah lama menjadi penopang utama APBN nasional melalui migas, batubara, dan sawit, sehingga pemimpin daerah seharusnya berani memperjuangkan hak-hak Kaltim.
“Kalau hanya pasrah, maka rakyatlah yang akhirnya jadi korban,” ujarnya.
Menurut Saipul, sistem pembagian hasil sumber daya alam yang tidak adil makin diperparah dengan rencana pemotongan ini.
Hal ini terlihat dari data kontribusi Kaltim terhadap PNBP yang besar, namun hanya sedikit yang kembali ke daerah.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar. (Foto: Maulana/seputarfakta.com)
Samarinda - Rencana pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 sebesar Rp650 triliun menuai kekhawatiran.
Angka itu setara penurunan 24,7 persen dan dinilai memprioritaskan belanja pusat dibanding daerah.
Bagi Kalimantan Timur (Kaltim), pemotongan ini berdampak signifikan karena Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi tulang punggung APBD Kaltim diperkirakan bakal menyusut hingga Rp5 triliun pada 2026. Padahal, APBD Kaltim saat ini ditetapkan sebesar Rp21,3 triliun.
Di tengah ancaman besar ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar, heran melihat sikap elite daerah yang terkesan "pasrah".
Ia menilai, tidak ada suara keras dari Gubernur maupun Ketua DPRD Kaltim untuk menolak rencana pemotongan tersebut.
“Ekspresi gubernur maupun ketua DPRD biasa-biasa saja, seolah pasrah. Padahal mereka mewakili rakyat Kaltim yang selama ini hanya mendapat porsi kecil dari sumber daya alamnya,” ujar Saipul.
Padahal, kata Saipul, sikap pasif tersebut tidak hanya merugikan pemerintah daerah dalam melaksanakan program kerja, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Proyek infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan program pendidikan berpotensi terhambat.
Saipul menegaskan, seorang kepala daerah tidak sedang mewakili dirinya atau kelompok tertentu, melainkan jutaan rakyat.
Ia mengingatkan bahwa Kaltim telah lama menjadi penopang utama APBN nasional melalui migas, batubara, dan sawit, sehingga pemimpin daerah seharusnya berani memperjuangkan hak-hak Kaltim.
“Kalau hanya pasrah, maka rakyatlah yang akhirnya jadi korban,” ujarnya.
Menurut Saipul, sistem pembagian hasil sumber daya alam yang tidak adil makin diperparah dengan rencana pemotongan ini.
Hal ini terlihat dari data kontribusi Kaltim terhadap PNBP yang besar, namun hanya sedikit yang kembali ke daerah.
(Sf/Rs)