Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Kegiatan muat TBS sawit diduga di kawasan Kutai Timur. (Istimewa)
Samarinda - Sebuah perusahaan kelapa sawit berinisial H yang beroperasi di Kecamatan Busang, Kutai Timur (Kutim) diduga membeli Tandan Buah Segar (TBS) dari lahan tanpa izin. Aktivitas ini disebut telah berlangsung selama tujuh bulan terakhir tanpa pengawasan.
Informasi ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Jaringan Advokasi dan Gerakan Aspirasi (JAGA) Rakyat Kalimantan Timur, Erly Sopiansyah. Ia mengatakan, petani di wilayah sekitar masih memanen sawit dari lahan yang izinnya telah dicabut, kemudian menjualnya ke pengepul. Buah tersebut kemudian dijual ke perusahaan H.
“Petani memanen dari lahan ilegal memang sudah keliru, tapi yang lebih bermasalah adalah perusahaan besar seperti H yang membeli tanpa memastikan asal-usul buah itu. Ini jelas pelanggaran,” kata Erly, Kamis (25/7/2025).
Menurut Erly, dari informasi yang ia terima, panen terjadi dua kali setiap bulan, masing-masing menghasilkan sekitar 150 ton TBS. Pengepul membeli dari petani seharga Rp2.500 per kilogram, lalu dijual lagi ke perusahaan H dengan harga antara Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram.
Erly menilai perusahaan telah mengabaikan kewajiban hukum yang seharusnya ditaati. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, serta Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, perusahaan sawit wajib memiliki pasokan buah dari sumber yang sah dan legal. Pembelian dari lahan tanpa izin termasuk dalam praktik usaha yang melanggar hukum.
Tak hanya itu, perusahaan juga terancam melanggar Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Dalam aturan tersebut, perusahaan diwajibkan menerapkan sistem traceability atau ketelusuran, yakni kemampuan menelusuri asal-usul buah sawit hingga ke kebun.
“Perusahaan wajib tahu buah itu dari mana. Kalau sumbernya dari kebun tanpa izin, artinya mereka melanggar sistem ISPO. Sertifikasinya bisa dicabut,” ujar Erly.
Sementara itu, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan juga menekankan pentingnya legalitas dan keterlacakan hasil kebun, serta memberikan dasar hukum untuk sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar.
Untuk itu, kata Erly, JAGA Kaltim mendesak pihak terkait segera bertindak. Pihaknya juga akan membuat laporan kepada serta penegak hukum sebagai bentuk kepastian hukum dan supaya tidak ada pembiaran.
Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari pihak perusahaan. JAGA Rakyat Kaltim mendesak Dinas Perkebunan Provinsi maupun aparat penegak hukum untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran ini.
“Kalau terus dibiarkan, ini akan jadi pintu masuk bagi industri sawit ilegal masuk ke jalur distribusi resmi. Ini bukan hanya merusak hukum, tapi juga masa depan keberlanjutan sawit kita,” tegas Erly.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Kegiatan muat TBS sawit diduga di kawasan Kutai Timur. (Istimewa)
Samarinda - Sebuah perusahaan kelapa sawit berinisial H yang beroperasi di Kecamatan Busang, Kutai Timur (Kutim) diduga membeli Tandan Buah Segar (TBS) dari lahan tanpa izin. Aktivitas ini disebut telah berlangsung selama tujuh bulan terakhir tanpa pengawasan.
Informasi ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Jaringan Advokasi dan Gerakan Aspirasi (JAGA) Rakyat Kalimantan Timur, Erly Sopiansyah. Ia mengatakan, petani di wilayah sekitar masih memanen sawit dari lahan yang izinnya telah dicabut, kemudian menjualnya ke pengepul. Buah tersebut kemudian dijual ke perusahaan H.
“Petani memanen dari lahan ilegal memang sudah keliru, tapi yang lebih bermasalah adalah perusahaan besar seperti H yang membeli tanpa memastikan asal-usul buah itu. Ini jelas pelanggaran,” kata Erly, Kamis (25/7/2025).
Menurut Erly, dari informasi yang ia terima, panen terjadi dua kali setiap bulan, masing-masing menghasilkan sekitar 150 ton TBS. Pengepul membeli dari petani seharga Rp2.500 per kilogram, lalu dijual lagi ke perusahaan H dengan harga antara Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram.
Erly menilai perusahaan telah mengabaikan kewajiban hukum yang seharusnya ditaati. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, serta Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, perusahaan sawit wajib memiliki pasokan buah dari sumber yang sah dan legal. Pembelian dari lahan tanpa izin termasuk dalam praktik usaha yang melanggar hukum.
Tak hanya itu, perusahaan juga terancam melanggar Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Dalam aturan tersebut, perusahaan diwajibkan menerapkan sistem traceability atau ketelusuran, yakni kemampuan menelusuri asal-usul buah sawit hingga ke kebun.
“Perusahaan wajib tahu buah itu dari mana. Kalau sumbernya dari kebun tanpa izin, artinya mereka melanggar sistem ISPO. Sertifikasinya bisa dicabut,” ujar Erly.
Sementara itu, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan juga menekankan pentingnya legalitas dan keterlacakan hasil kebun, serta memberikan dasar hukum untuk sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar.
Untuk itu, kata Erly, JAGA Kaltim mendesak pihak terkait segera bertindak. Pihaknya juga akan membuat laporan kepada serta penegak hukum sebagai bentuk kepastian hukum dan supaya tidak ada pembiaran.
Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari pihak perusahaan. JAGA Rakyat Kaltim mendesak Dinas Perkebunan Provinsi maupun aparat penegak hukum untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran ini.
“Kalau terus dibiarkan, ini akan jadi pintu masuk bagi industri sawit ilegal masuk ke jalur distribusi resmi. Ini bukan hanya merusak hukum, tapi juga masa depan keberlanjutan sawit kita,” tegas Erly.
(Sf/Rs)