Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Tugu Pesut Mahakam yang ada di kawasan simpang empat Mal Lembuswana Samarinda. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda - Tugu Pesut Mahakam, ikon baru di kawasan Simpang Empat Mall Lembuswana Samarinda, menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Dalam konteks tata kota, Tugu Pesut Mahakam mendapat perhatian dari seorang Pengamat Tata Kota, Farid Nurrahman. Ia menilai tugu tersebut memiliki fungsi penting sebagai landmark, namun tidak lepas dari tantangan dalam hal estetika dan penerimaan publik.
Dengan desain abstrak berwarna merah yang menjulang di persimpangan jalan, tugu ini menggambarkan siluet Pesut Mahakam. Tugu itu dibangun dengan anggaran Rp1,1 miliar, dan desain tugu ini juga memancing apresiasi sekaligus kritik.
"Kalau bicara citra tata kota, ini adalah landmark atau penanda. Fungsinya untuk estetika kota, meskipun estetika itu sendiri tidak memiliki patokan baku. Desain harus mencerminkan karakteristik kota atau budaya setempat," ujar Farid.
Menurutnya, desain abstrak seperti Tugu Pesut Mahakam bukanlah hal baru, terutama jika dibandingkan dengan karya serupa di kota-kota besar seperti Denpasar, Bali. Namun, ia menekankan bahwa selera seni bersifat subjektif dan tidak bisa diukur hanya dengan uang.
"Selera seni itu tidak bisa dinilai dengan nominal. Orang yang memahami seni akan menghargai maksud di balik desainnya," tambahnya.
Farid mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Samarinda dalam menghadirkan landmark baru ini. Ia menilai keberadaan tugu tersebut sudah berhasil menarik perhatian publik, sesuai dengan tujuan awalnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap seni kota bersifat dinamis.
"Tugu ini berhasil sebagai landmark karena mencuri perhatian publik. Tapi, opini masyarakat tentang seni selalu subjektif dan tidak mungkin menyenangkan semua pihak," ungkap Farid.
Ia juga melihat situasi ini sebagai pembelajaran bagi masyarakat untuk memahami seni kota. Menurutnya, ketidakpahaman terhadap desain abstrak seperti Tugu Pesut Mahakam mencerminkan masih terbatasnya literatur seni di Samarinda.
"Ini adalah bagian dari proses edukasi. Masyarakat mungkin belum memahami, tapi ini bisa menjadi langkah awal untuk memperluas wawasan seni di kota kita," jelasnya.
Farid juga menyoroti pentingnya pelibatan publik dalam pengembangan desain kota di masa depan. Ia mengusulkan agar pemerintah mengadakan sayembara desain atau melibatkan asosiasi arsitek untuk menciptakan karya yang lebih inklusif dan diterima masyarakat luas.
"Melibatkan masyarakat dalam proses desain, seperti sayembara, dapat menumbuhkan rasa memiliki. Selain itu, asosiasi arsitek juga memiliki banyak ide yang bisa diwujudkan," sarannya.
Oleh karena itu, Farid berharap dinamika seni dan tata kota Samarinda terus berkembang dengan melibatkan berbagai pihak. Ia percaya, dengan partisipasi aktif dari masyarakat dan ahli, karya seni kota yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan karakteristik lokal dan diterima oleh berbagai kalangan.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Tugu Pesut Mahakam yang ada di kawasan simpang empat Mal Lembuswana Samarinda. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda - Tugu Pesut Mahakam, ikon baru di kawasan Simpang Empat Mall Lembuswana Samarinda, menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Dalam konteks tata kota, Tugu Pesut Mahakam mendapat perhatian dari seorang Pengamat Tata Kota, Farid Nurrahman. Ia menilai tugu tersebut memiliki fungsi penting sebagai landmark, namun tidak lepas dari tantangan dalam hal estetika dan penerimaan publik.
Dengan desain abstrak berwarna merah yang menjulang di persimpangan jalan, tugu ini menggambarkan siluet Pesut Mahakam. Tugu itu dibangun dengan anggaran Rp1,1 miliar, dan desain tugu ini juga memancing apresiasi sekaligus kritik.
"Kalau bicara citra tata kota, ini adalah landmark atau penanda. Fungsinya untuk estetika kota, meskipun estetika itu sendiri tidak memiliki patokan baku. Desain harus mencerminkan karakteristik kota atau budaya setempat," ujar Farid.
Menurutnya, desain abstrak seperti Tugu Pesut Mahakam bukanlah hal baru, terutama jika dibandingkan dengan karya serupa di kota-kota besar seperti Denpasar, Bali. Namun, ia menekankan bahwa selera seni bersifat subjektif dan tidak bisa diukur hanya dengan uang.
"Selera seni itu tidak bisa dinilai dengan nominal. Orang yang memahami seni akan menghargai maksud di balik desainnya," tambahnya.
Farid mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Samarinda dalam menghadirkan landmark baru ini. Ia menilai keberadaan tugu tersebut sudah berhasil menarik perhatian publik, sesuai dengan tujuan awalnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap seni kota bersifat dinamis.
"Tugu ini berhasil sebagai landmark karena mencuri perhatian publik. Tapi, opini masyarakat tentang seni selalu subjektif dan tidak mungkin menyenangkan semua pihak," ungkap Farid.
Ia juga melihat situasi ini sebagai pembelajaran bagi masyarakat untuk memahami seni kota. Menurutnya, ketidakpahaman terhadap desain abstrak seperti Tugu Pesut Mahakam mencerminkan masih terbatasnya literatur seni di Samarinda.
"Ini adalah bagian dari proses edukasi. Masyarakat mungkin belum memahami, tapi ini bisa menjadi langkah awal untuk memperluas wawasan seni di kota kita," jelasnya.
Farid juga menyoroti pentingnya pelibatan publik dalam pengembangan desain kota di masa depan. Ia mengusulkan agar pemerintah mengadakan sayembara desain atau melibatkan asosiasi arsitek untuk menciptakan karya yang lebih inklusif dan diterima masyarakat luas.
"Melibatkan masyarakat dalam proses desain, seperti sayembara, dapat menumbuhkan rasa memiliki. Selain itu, asosiasi arsitek juga memiliki banyak ide yang bisa diwujudkan," sarannya.
Oleh karena itu, Farid berharap dinamika seni dan tata kota Samarinda terus berkembang dengan melibatkan berbagai pihak. Ia percaya, dengan partisipasi aktif dari masyarakat dan ahli, karya seni kota yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan karakteristik lokal dan diterima oleh berbagai kalangan.
(Sf/Rs)