Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Gereja Mormon di Michigan usai serangan Minggu (29/9/2025). (AP News)
Samarinda - Serangan terhadap sebuah gereja Mormon di Grand Blanc, Michigan, Minggu (28/9/25) mengejutkan publik Amerika Serikat. Mengutip laporan The New York Post, pelaku yang diidentifikasi bernama Thomas Jacob Sanford berusia 40 tahun diketahui merupakan veteran Marinir AS yang pernah bertugas di Irak. Aksi itu menimbulkan pertanyaan serius tentang radikalisasi dan kondisi kesehatan mental para mantan prajurit perang.
Sanord dilaporkan masuk ke dalam gereja saat jemaat sedang berkumpul. Ia membawa senjata api, menembaki pintu, kemudian menyalakan api dengan bahan bakar. Polisi segera tiba di lokasi dan baku tembak pun terjadi. Pelaku akhirnya tewas di tempat setelah beberapa menit aksi berlangsung.
Motif penyerangan hingga kini masih diselidiki. Namun, sejumlah laporan menyebut bahwa Sanford sebelumnya pernah menyampaikan pandangan anti-Mormon. Dalam sebuah percakapan, ia bahkan menyebut Mormonisme sebagai antikristus. Hal ini memunculkan dugaan serangan berlatar kebencian agama.
Kasus ini menyoroti sisi lain dari kehidupan veteran perang yang kembali ke masyarakat sipil. Pengalaman perang kerap meninggalkan trauma psikologis dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Dalam sejumlah penelitian, masalah mental yang tidak tertangani bisa memperbesar risiko penyalahgunaan narkoba, kekerasan, hingga radikalisasi. Sebuah kajian di Journal of Traumatic Stress (2019) mencatat bahwa veteran dengan gejala PTSD berat lebih rentan mengalami perilaku agresif dibandingkan populasi umum.
Pemerintah Amerika Serikat sendiri memiliki berbagai program untuk membantu kesehatan mental veteran, termasuk layanan di bawah Department of Veterans Affairs. Namun, kapasitas dan efektivitas program ini kerap dipertanyakan, terutama dalam kasus-kasus ekstrem seperti yang terjadi di Michigan.
Bagi banyak pihak, tragedi di Grand Blanc menjadi alarm bahwa dukungan bagi veteran tidak cukup hanya berupa layanan administratif, melainkan harus menyentuh aspek rehabilitasi psikologis dan pencegahan radikalisasi. Tanpa itu, potensi ancaman serupa masih bisa muncul di masa depan.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Gereja Mormon di Michigan usai serangan Minggu (29/9/2025). (AP News)
Samarinda - Serangan terhadap sebuah gereja Mormon di Grand Blanc, Michigan, Minggu (28/9/25) mengejutkan publik Amerika Serikat. Mengutip laporan The New York Post, pelaku yang diidentifikasi bernama Thomas Jacob Sanford berusia 40 tahun diketahui merupakan veteran Marinir AS yang pernah bertugas di Irak. Aksi itu menimbulkan pertanyaan serius tentang radikalisasi dan kondisi kesehatan mental para mantan prajurit perang.
Sanord dilaporkan masuk ke dalam gereja saat jemaat sedang berkumpul. Ia membawa senjata api, menembaki pintu, kemudian menyalakan api dengan bahan bakar. Polisi segera tiba di lokasi dan baku tembak pun terjadi. Pelaku akhirnya tewas di tempat setelah beberapa menit aksi berlangsung.
Motif penyerangan hingga kini masih diselidiki. Namun, sejumlah laporan menyebut bahwa Sanford sebelumnya pernah menyampaikan pandangan anti-Mormon. Dalam sebuah percakapan, ia bahkan menyebut Mormonisme sebagai antikristus. Hal ini memunculkan dugaan serangan berlatar kebencian agama.
Kasus ini menyoroti sisi lain dari kehidupan veteran perang yang kembali ke masyarakat sipil. Pengalaman perang kerap meninggalkan trauma psikologis dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Dalam sejumlah penelitian, masalah mental yang tidak tertangani bisa memperbesar risiko penyalahgunaan narkoba, kekerasan, hingga radikalisasi. Sebuah kajian di Journal of Traumatic Stress (2019) mencatat bahwa veteran dengan gejala PTSD berat lebih rentan mengalami perilaku agresif dibandingkan populasi umum.
Pemerintah Amerika Serikat sendiri memiliki berbagai program untuk membantu kesehatan mental veteran, termasuk layanan di bawah Department of Veterans Affairs. Namun, kapasitas dan efektivitas program ini kerap dipertanyakan, terutama dalam kasus-kasus ekstrem seperti yang terjadi di Michigan.
Bagi banyak pihak, tragedi di Grand Blanc menjadi alarm bahwa dukungan bagi veteran tidak cukup hanya berupa layanan administratif, melainkan harus menyentuh aspek rehabilitasi psikologis dan pencegahan radikalisasi. Tanpa itu, potensi ancaman serupa masih bisa muncul di masa depan.
(Sf/Rs)