Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Proses pendaftaran PPDB di sebuah sekolah di Samarinda, yang saat ini telah diubah menjadi SPMB. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah mengumumkan perubahan signifikan dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Mulai tahun 2025, sistem ini akan bertransformasi menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan mengubah beberapa aspek, termasuk penggantian sistem zonasi menjadi domisili untuk jenjang SMP dan SMA.
Perubahan ini menuai berbagai reaksi dari kalangan pendidikan. Salah satu yang pernah menyampaikan kritik adalah Kris Suhariyatno, seorang praktisi pendidikan asal Kalimantan Timur (Kaltim). Kris menyampaikan ketidakpuasannya terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan yang dianggapnya kurang tepat sasaran.
Menurut Kris, sistem zonasi yang diterapkan sejak tahun 2017 lalu belum mampu mencapai tujuan pemerataan akses pendidikan dan penghapusan stigma sekolah favorit. Alih-alih demikian, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru, terutama terkait dengan ketidakmerataan infrastruktur dan sebaran sekolah.
"Saya prihatin sejak awal diberlakukannya sistem zonasi pada tahun pelajaran 2017/2018 pada pelaksanaan PPDB. Masalah utama dari PPDB zonasi adalah ketidakmerataan infrastruktur sekolah dan sebaran sekolah yang tidak merata, terutama di wilayah desa dan kecamatan," tuturnya.
Tak hanya sistem zonasi, Kris juga menyoroti kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan peraturan dan kondisi riil di lapangan. Ia pun menyampaikan surat resmi kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) untuk menyampaikan aspirasinya.
"Kebetulan, Pak Mendikdasmen dalam pernyataannya menyampaikan bahwa beliau ingin menjadi menteri yang banyak mendengar masukan dari berbagai pihak agar tidak membuat keputusan yang keliru. Oleh karena itu, saya menulis dan mengirimkan surat tersebut dengan penuh rasa hormat," ungkapnya.
Dalam suratnya, Kris menyebutkan bahwa peniadaan UN dan pelaksanaan PPDB jalur zonasi tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010. Pasal 82 ayat 4 dari peraturan tersebut mengamanatkan bahwa seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas sepuluh didasarkan pada hasil Ujian Nasional, kecuali bagi peserta didik tertentu.
Kris juga menanggapi kritik terhadap UN yang dianggap memerlukan biaya besar dan berpotensi menimbulkan kecurangan. Ia menegaskan bahwa masalah tersebut telah diatasi dengan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang mulai dirintis pada tahun 2015.
"Pada tahun 2015 lalu pelaksanaan UNBK diikuti oleh sebanyak 556 sekolah, dan tahun 2018 hampir seluruh Indonesia melaksanakan ujian berbasis komputer ini. Ini membantah adanya statement bahwa UN itu rawan kecurangan," pungkasnya.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
Seputar Kaltim
Proses pendaftaran PPDB di sebuah sekolah di Samarinda, yang saat ini telah diubah menjadi SPMB. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah mengumumkan perubahan signifikan dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Mulai tahun 2025, sistem ini akan bertransformasi menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan mengubah beberapa aspek, termasuk penggantian sistem zonasi menjadi domisili untuk jenjang SMP dan SMA.
Perubahan ini menuai berbagai reaksi dari kalangan pendidikan. Salah satu yang pernah menyampaikan kritik adalah Kris Suhariyatno, seorang praktisi pendidikan asal Kalimantan Timur (Kaltim). Kris menyampaikan ketidakpuasannya terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan yang dianggapnya kurang tepat sasaran.
Menurut Kris, sistem zonasi yang diterapkan sejak tahun 2017 lalu belum mampu mencapai tujuan pemerataan akses pendidikan dan penghapusan stigma sekolah favorit. Alih-alih demikian, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru, terutama terkait dengan ketidakmerataan infrastruktur dan sebaran sekolah.
"Saya prihatin sejak awal diberlakukannya sistem zonasi pada tahun pelajaran 2017/2018 pada pelaksanaan PPDB. Masalah utama dari PPDB zonasi adalah ketidakmerataan infrastruktur sekolah dan sebaran sekolah yang tidak merata, terutama di wilayah desa dan kecamatan," tuturnya.
Tak hanya sistem zonasi, Kris juga menyoroti kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan peraturan dan kondisi riil di lapangan. Ia pun menyampaikan surat resmi kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) untuk menyampaikan aspirasinya.
"Kebetulan, Pak Mendikdasmen dalam pernyataannya menyampaikan bahwa beliau ingin menjadi menteri yang banyak mendengar masukan dari berbagai pihak agar tidak membuat keputusan yang keliru. Oleh karena itu, saya menulis dan mengirimkan surat tersebut dengan penuh rasa hormat," ungkapnya.
Dalam suratnya, Kris menyebutkan bahwa peniadaan UN dan pelaksanaan PPDB jalur zonasi tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010. Pasal 82 ayat 4 dari peraturan tersebut mengamanatkan bahwa seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas sepuluh didasarkan pada hasil Ujian Nasional, kecuali bagi peserta didik tertentu.
Kris juga menanggapi kritik terhadap UN yang dianggap memerlukan biaya besar dan berpotensi menimbulkan kecurangan. Ia menegaskan bahwa masalah tersebut telah diatasi dengan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang mulai dirintis pada tahun 2015.
"Pada tahun 2015 lalu pelaksanaan UNBK diikuti oleh sebanyak 556 sekolah, dan tahun 2018 hampir seluruh Indonesia melaksanakan ujian berbasis komputer ini. Ini membantah adanya statement bahwa UN itu rawan kecurangan," pungkasnya.
(Sf/Rs)