Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Dr Yunianto Setiawan, saat menghadiri WWF di Bali, tahun 2024. (Dok pribadi untuk Seputarfakta.com)
Hari Lingkungan Hidup tahun ini yang kita rayakan dengan tema Restorasi Lahan, Penggurunan dan Ketahanan terhada kekeringan bisa menjadi refleksi bagi Indonesia umumnya dan Kaltim pada khususnya untuk merestorasi lahan di Daerah Aliran Sungai.
Tidak lupa dalam ingatan kita pada Bulan Mei 2024, terjadi banjir dasyat yang menenggelamkan Kabupaten Mahakam Hulu. Selain dampak karena perubahan iklim, tidak dimungkiri karena lahan di Daerah Aliran Sungai Mahakam sudah kritis karena yang dulunya hutan dikonversi menjadi Pertambangan Batubara dan Perkebunan Kelapa Sawit.
Berdasarkan data KLHK pada tahun 1984 DAS sangat kritis yang menjadi prioritas restorasi berjumlah 22 DAS, Tahun 1992 menjadi 39 DAS, Tahun 2005 meningkat menjadi 62 dan Tahun 2009 hingga sekarang menjadi 108 DAS, Dalam ingatan penulis DAS Mahakam tidak dimasukan dalam prioritas DAS sangat kritis yang direstorasi, hal ini sangat aneh melihat kondisi DAS Mahakam semakin hari semakin kritis yang diindikasikan dengan bencana banjir sering terjadi dan kualitas air semakin turun.
Padahal dalam kawasan DAS Mahakam merupakan penghasil devisa terbesar bagi pemerintah pusat melalui kegitan minerba dan perkebunan sawit. Wakil rakyat dan masyarakat Kaltim harus mendesak opemerintah pusat dalam hal ini. Selama ini masyarakat Kaltim lebih banyak mersakan dampak dari pertambangann dan kerusakan lingkungan namun anggaran dari pemerintah pusat untuk memperbaiki DAS Mahakam sangat kurang.
Begitupun DAS Karang Mumus yang sudah menjadi perhatian pemerintah dengan program Prokasih hingga saat ini belum nampak kemajuan dalam pengelolaan DAS SKM. Ibarat manusia yang sudah sakit lama, kondisi kualitas air SKM pun tidak kunjung baik. Orang awam pun bisa melihat jelas warna air semakin keruh, bila hujan lebat ataupun pasang airnya pun meluap ke jalan. Fenomena air SKM berubah menjadi hijau pun sudah sering terjadi.
Berdasarkan hasil laboratorium PPLH dan SDA Unmul telah terjadi penyuburan atau eutrofikasi yang tinggi,menandakan banyaknya buangan zat organik ke SKM .Kalau pemerintah serius merostorasi SKM adalah sangat mudah, kasus Sungai Citarum yang pernah menjadi julukan sungai terkotor di Asia dalam tempo 5 tahun bisa direstorasi menjadi Sungai yang bersih dengan menggelontorkan anggaran restorasi yang sangat besar.
Kalau kita melihat Sungai-sungai di negara Uni-Eropa di TV ataupun Youtube, sangat jernih dan terjaga bahkan dijadikan wisata yang mendatangkan devisa yang sangat besar. Ada anggapan dari Masyarakat Eropa, Sungai yang kotor menandakan salah kelola dari pemerintah. Mungkin ini terjadi di pengelolaan Sungai-Sungai di Kalimantan yang semakin keruh. Ada yang salah dalam menentukan Tata Ruang DAS. Dimana Pemerintah gampang mengeluarkan IUP-IUP di kawasan DAS di Kalimantan yang harusnya adalah hutan yang mampu mengelola tata air.
Permasalahan klasik pengelolaan DAS seperti regulasi, ego sektoral,anggaran, monitoring dan lain-lain masih saja terjadi. PP no.37/2012 tentang Pengelolaan DAS dianggap tidak ada power sekarang setelah adanya UU Cipta Karya. Oleh karenanya perlu dibuat UU yang mempunyai power dan kewenangan yang penuh dengan dibentuk Badan Pengelola DAS bukan forum DAS yang di PP no.37 tidak punya kewenangan penuh dan lebih banyak bergerak pada tatanan perencanaan.
Dalam menghadapi perubahan iklim yang sudah terjadi ,tantangan lebih berat akan terjadi dalam pengelolaan DAS. Pada pertemuan World Water Forum ke-10 di Bali, negara – negara tetangga seperti China,Korsel dan Jepang sudah mengantisipasi pengelolaan DAS dengan mengintegrasikan teknologi dan science dengan mengolah data-data yang besar (big data)mereka menganalisis kondisi DAS dengan bantuan AI untuk membuat suatu regulasi pengelolaan DAS, monitoring dan infrastruktur untuk menjaga DAS mereka,juga menghasilkan model-model yang akurat yang dijadikan sebagai basis pengelolaan yang antisipatif tehadap perubahan iklim dengan bantuan AI tersebut. Bangsa Indonesia juga harus mulai dari sekarang merubah paradigma dalam pengelolaan DAS, membuat perencanaan-perencanaan pengelolaan DAS yang lebih baik lagi dalam menghadapi perubahan iklim.
Pendekatan pengelolaan berbasis “river basin”/ Sub DAS sudah harus diimplementasikan dengan terpadu bukan parsial yang selama ini masih menjadi paradigma pejabat-pejabat daerah, yang hanya fokus pada kawasan administratif mereka,seperti dalam pengelolaan DAS Mahakam,bupati-bupati terdahulu dengan mudah mengeluarkan IUP untuk meningkatkan PAD daerahnya tanpa mengkaji daya dukung dan daya tampung sungai mahakam apalagi memikirkan daerah hilir yang terdampak dari rusaknya DAS Mahakam.
Peran serta masyarakat,akademisi, Dunia usaha,Ormas-ormas dan media dalam menjaga sungai juga sangat dibutuhkan,sekarang saatnya masyarakat global menjadi Pejuang Air (Water Warrior) seperti yang dikatakan Presiden World Water Council(WWC), Loic Fauchon. Begitupun presiden Jokowi mengatakan Air adalah Kehidupan, tanpa Air tidak ada Kehidupan.
Selamat HLH,semoga tahun depan tidak ada bencana-bencana lagi akibat tangan-tangan kita.
Artikel ini, merupakan kiriman dari pembaca Seputarfakta.com. Isi dan konten artikel di luar tanggung jawab redaksi
Artikel ini ditulis oleh Dr. Yunianto Setiawan, Pakar Manajemen Sumber Daya Air-PPLH-SDA Universitas Mulawarman
(*)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com -
Seputar Kaltim
Dr Yunianto Setiawan, saat menghadiri WWF di Bali, tahun 2024. (Dok pribadi untuk Seputarfakta.com)
Hari Lingkungan Hidup tahun ini yang kita rayakan dengan tema Restorasi Lahan, Penggurunan dan Ketahanan terhada kekeringan bisa menjadi refleksi bagi Indonesia umumnya dan Kaltim pada khususnya untuk merestorasi lahan di Daerah Aliran Sungai.
Tidak lupa dalam ingatan kita pada Bulan Mei 2024, terjadi banjir dasyat yang menenggelamkan Kabupaten Mahakam Hulu. Selain dampak karena perubahan iklim, tidak dimungkiri karena lahan di Daerah Aliran Sungai Mahakam sudah kritis karena yang dulunya hutan dikonversi menjadi Pertambangan Batubara dan Perkebunan Kelapa Sawit.
Berdasarkan data KLHK pada tahun 1984 DAS sangat kritis yang menjadi prioritas restorasi berjumlah 22 DAS, Tahun 1992 menjadi 39 DAS, Tahun 2005 meningkat menjadi 62 dan Tahun 2009 hingga sekarang menjadi 108 DAS, Dalam ingatan penulis DAS Mahakam tidak dimasukan dalam prioritas DAS sangat kritis yang direstorasi, hal ini sangat aneh melihat kondisi DAS Mahakam semakin hari semakin kritis yang diindikasikan dengan bencana banjir sering terjadi dan kualitas air semakin turun.
Padahal dalam kawasan DAS Mahakam merupakan penghasil devisa terbesar bagi pemerintah pusat melalui kegitan minerba dan perkebunan sawit. Wakil rakyat dan masyarakat Kaltim harus mendesak opemerintah pusat dalam hal ini. Selama ini masyarakat Kaltim lebih banyak mersakan dampak dari pertambangann dan kerusakan lingkungan namun anggaran dari pemerintah pusat untuk memperbaiki DAS Mahakam sangat kurang.
Begitupun DAS Karang Mumus yang sudah menjadi perhatian pemerintah dengan program Prokasih hingga saat ini belum nampak kemajuan dalam pengelolaan DAS SKM. Ibarat manusia yang sudah sakit lama, kondisi kualitas air SKM pun tidak kunjung baik. Orang awam pun bisa melihat jelas warna air semakin keruh, bila hujan lebat ataupun pasang airnya pun meluap ke jalan. Fenomena air SKM berubah menjadi hijau pun sudah sering terjadi.
Berdasarkan hasil laboratorium PPLH dan SDA Unmul telah terjadi penyuburan atau eutrofikasi yang tinggi,menandakan banyaknya buangan zat organik ke SKM .Kalau pemerintah serius merostorasi SKM adalah sangat mudah, kasus Sungai Citarum yang pernah menjadi julukan sungai terkotor di Asia dalam tempo 5 tahun bisa direstorasi menjadi Sungai yang bersih dengan menggelontorkan anggaran restorasi yang sangat besar.
Kalau kita melihat Sungai-sungai di negara Uni-Eropa di TV ataupun Youtube, sangat jernih dan terjaga bahkan dijadikan wisata yang mendatangkan devisa yang sangat besar. Ada anggapan dari Masyarakat Eropa, Sungai yang kotor menandakan salah kelola dari pemerintah. Mungkin ini terjadi di pengelolaan Sungai-Sungai di Kalimantan yang semakin keruh. Ada yang salah dalam menentukan Tata Ruang DAS. Dimana Pemerintah gampang mengeluarkan IUP-IUP di kawasan DAS di Kalimantan yang harusnya adalah hutan yang mampu mengelola tata air.
Permasalahan klasik pengelolaan DAS seperti regulasi, ego sektoral,anggaran, monitoring dan lain-lain masih saja terjadi. PP no.37/2012 tentang Pengelolaan DAS dianggap tidak ada power sekarang setelah adanya UU Cipta Karya. Oleh karenanya perlu dibuat UU yang mempunyai power dan kewenangan yang penuh dengan dibentuk Badan Pengelola DAS bukan forum DAS yang di PP no.37 tidak punya kewenangan penuh dan lebih banyak bergerak pada tatanan perencanaan.
Dalam menghadapi perubahan iklim yang sudah terjadi ,tantangan lebih berat akan terjadi dalam pengelolaan DAS. Pada pertemuan World Water Forum ke-10 di Bali, negara – negara tetangga seperti China,Korsel dan Jepang sudah mengantisipasi pengelolaan DAS dengan mengintegrasikan teknologi dan science dengan mengolah data-data yang besar (big data)mereka menganalisis kondisi DAS dengan bantuan AI untuk membuat suatu regulasi pengelolaan DAS, monitoring dan infrastruktur untuk menjaga DAS mereka,juga menghasilkan model-model yang akurat yang dijadikan sebagai basis pengelolaan yang antisipatif tehadap perubahan iklim dengan bantuan AI tersebut. Bangsa Indonesia juga harus mulai dari sekarang merubah paradigma dalam pengelolaan DAS, membuat perencanaan-perencanaan pengelolaan DAS yang lebih baik lagi dalam menghadapi perubahan iklim.
Pendekatan pengelolaan berbasis “river basin”/ Sub DAS sudah harus diimplementasikan dengan terpadu bukan parsial yang selama ini masih menjadi paradigma pejabat-pejabat daerah, yang hanya fokus pada kawasan administratif mereka,seperti dalam pengelolaan DAS Mahakam,bupati-bupati terdahulu dengan mudah mengeluarkan IUP untuk meningkatkan PAD daerahnya tanpa mengkaji daya dukung dan daya tampung sungai mahakam apalagi memikirkan daerah hilir yang terdampak dari rusaknya DAS Mahakam.
Peran serta masyarakat,akademisi, Dunia usaha,Ormas-ormas dan media dalam menjaga sungai juga sangat dibutuhkan,sekarang saatnya masyarakat global menjadi Pejuang Air (Water Warrior) seperti yang dikatakan Presiden World Water Council(WWC), Loic Fauchon. Begitupun presiden Jokowi mengatakan Air adalah Kehidupan, tanpa Air tidak ada Kehidupan.
Selamat HLH,semoga tahun depan tidak ada bencana-bencana lagi akibat tangan-tangan kita.
Artikel ini, merupakan kiriman dari pembaca Seputarfakta.com. Isi dan konten artikel di luar tanggung jawab redaksi
Artikel ini ditulis oleh Dr. Yunianto Setiawan, Pakar Manajemen Sumber Daya Air-PPLH-SDA Universitas Mulawarman
(*)