Golkar Soroti Ketergantungan Dana Pusat dan Minimnya Pembangunan dalam APBD Kutim 2024

    Seputarfakta.com-Lisda -

    Seputar Kaltim

    02 Juli 2025 02:33 WIB

    Penyampaian pandangan fraksi Golkar terhadap Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024. pada Rapat Paripurna ke-42 Masa Persidangan III Tahun 2024-2025. (foto:lisda/seputarfakta.com)

    Sangatta - DPRD Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menggelar Rapat Paripurna ke-42 Masa Persidangan III Tahun 2024-2025, dengan agenda penyampaian pandangan fraksi terhadap Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024, Senin (1/7/2025). Rapat tersebut berlangsung di ruang sidang utama DPRD Kutim.

    Fraksi Partai Golkar, Kari Palimbong menyampaikan sejumlah catatan terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah selama tahun anggaran 2024. Pandangan Fraksi Golkar terbagi dalam beberapa poin utama, yang menyoroti aspek pendapatan, belanja, pembiayaan, pengelolaan aset, dan kebutuhan mendesak akan reformasi fiskal daerah.

    Ia menyoroti bahwa dari target pendapatan sebesar Rp13,06 triliun, realisasinya hanya mencapai Rp10,44 triliun atau 79,90 persen. Hal ini menunjukkan perencanaan anggaran yang tidak akurat dan berisiko menggagalkan program-program publik.

    Terlebih lagi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya tercapai Rp532,5 miliar, jauh di bawah dana transfer dari pusat yang mencapai Rp9,81 triliun. Struktur pendapatan seperti ini menunjukkan bahwa Kutim masih sangat bergantung pada dana dari pemerintah pusat.

    “Ketergantungan ini bukan hanya mencerminkan ketidaksiapan fiskal daerah, tapi juga kegagalan dalam mengoptimalkan potensi lokal seperti retribusi, pajak daerah, dan kontribusi BUMD,” ujar Kari Palimbong.

    Fraksi Golkar juga menyoroti realisasi "pendapatan transfer lainnya" yang hanya 18,30 persen, sebagai bukti lemahnya perencanaan dan target yang terlalu spekulatif.

    Dalam hal belanja daerah, tercatat anggaran sebesar Rp14,80 triliun dengan realisasi Rp12,06 triliun atau 81,51 persen, di mana belanja operasional mendominasi hingga Rp5,72 triliun (83,58 persen).

    Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah APBD memang didesain untuk pembangunan masyarakat atau sekadar menopang biaya operasional birokrasi?

    Realisasi belanja modal hanya mencapai 76,34 persen, yang dinilai telah menyebabkan penundaan pemenuhan kebutuhan publik, minimnya dampak ekonomi lokal (multiplier effect). tidak sinkronnya perencanaan dan implementasi.

    Tidak hanya itu, anggaran belanja tidak terduga sebesar Rp20 miliar tidak digunakan sama sekali. Padahal, anggaran tersebut sejatinya disiapkan untuk merespons kondisi darurat atau risiko tak terduga.

    “Ketidakterserapan ini menunjukkan tidak adanya sistem manajemen risiko fiskal yang berjalan di tubuh pemerintah daerah,” tambahnya.

    Selain itu, Fraksi Golkar mencermati bahwa penerimaan pembiayaan sebesar Rp1,77 triliun yang mayoritas berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya merupakan alarm keras bagi manajemen fiskal.

    “SILPA dalam jumlah besar bukan prestasi, melainkan bentuk anggaran yang gagal dimanfaatkan dan menjadi beban tahun berjalan berikutnya,” kata Kari.

    Penyertaan modal sebesar Rp35 miliar juga disoroti. Fraksi Golkar meminta adanya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penyertaan modal yang dinilai belum memberikan dampak nyata terhadap peningkatan PAD. Ia meminta setiap penyertaan modal harus disertai dengan audit independen, rencana bisnis yang terukur, dan indikator kinerja yang jelas.

    Lebih lanjut, Jumlah aset daerah yang mencapai Rp19,12 triliun, termasuk aset tetap senilai Rp14,14 triliun, dinilai sebagai capaian kuantitatif. Namun, Golkar menyoroti minimnya pemanfaatan produktif terhadap aset-aset tersebut.

    “Banyak aset seperti bangunan, kendaraan, dan lahan hanya menjadi beban pemeliharaan tanpa memberi kontribusi terhadap pelayanan publik atau pendapatan daerah,” ungkapnya.

    Sementara itu, kewajiban daerah yang mencapai Rp1,44 triliun, sebagian besar merupakan utang belanja, perlu dikendalikan secara strategis melalui pengendalian kewajiban jangka pendek dan reformasi belanja rutin.

    Kari Palimbong menyampaikan bahwa postur fiskal dan pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2024 masih menyisakan permasalahan serius. yang tidak bisa hanya dijawab dengan koreksi administratif atau formalitas laporan. Diperlukan reformasi struktural dan politik anggaran yang lebih berani dan progresif.

    Fraksi Golkar merekomendasikan:

    1. Redesain perencanaan anggaran berbasis data empiris, bukan asumsi makro semata.
    2. Peningkatan PAD melalui digitalisasi dan integrasi penerimaan daerah.
    3. Realokasi belanja ke sektor produktif dan berdampak langsung ke masyarakat.
    4. Penguatan kapasitas teknis SKPD dalam menyerap anggaran pembangunan.
    5. Evaluasi menyeluruh terhadap setiap penyertaan modal dan manajemen aset.

    “Fraksi Golkar berharap agar catatan kritis ini tidak dipandang sebagai oposisi terhadap pemerintah daerah, melainkan sebagai kontribusi konstruktif dalam membangun Kutai Timur yang mandiri secara fiskal, berdaulat dalam kebijakan, dan adil dalam pembangunan,” pungkasnya

    (Sf/Rs)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Golkar Soroti Ketergantungan Dana Pusat dan Minimnya Pembangunan dalam APBD Kutim 2024

    Seputarfakta.com-Lisda -

    Seputar Kaltim

    02 Juli 2025 02:33 WIB

    Penyampaian pandangan fraksi Golkar terhadap Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024. pada Rapat Paripurna ke-42 Masa Persidangan III Tahun 2024-2025. (foto:lisda/seputarfakta.com)

    Sangatta - DPRD Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menggelar Rapat Paripurna ke-42 Masa Persidangan III Tahun 2024-2025, dengan agenda penyampaian pandangan fraksi terhadap Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024, Senin (1/7/2025). Rapat tersebut berlangsung di ruang sidang utama DPRD Kutim.

    Fraksi Partai Golkar, Kari Palimbong menyampaikan sejumlah catatan terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah selama tahun anggaran 2024. Pandangan Fraksi Golkar terbagi dalam beberapa poin utama, yang menyoroti aspek pendapatan, belanja, pembiayaan, pengelolaan aset, dan kebutuhan mendesak akan reformasi fiskal daerah.

    Ia menyoroti bahwa dari target pendapatan sebesar Rp13,06 triliun, realisasinya hanya mencapai Rp10,44 triliun atau 79,90 persen. Hal ini menunjukkan perencanaan anggaran yang tidak akurat dan berisiko menggagalkan program-program publik.

    Terlebih lagi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya tercapai Rp532,5 miliar, jauh di bawah dana transfer dari pusat yang mencapai Rp9,81 triliun. Struktur pendapatan seperti ini menunjukkan bahwa Kutim masih sangat bergantung pada dana dari pemerintah pusat.

    “Ketergantungan ini bukan hanya mencerminkan ketidaksiapan fiskal daerah, tapi juga kegagalan dalam mengoptimalkan potensi lokal seperti retribusi, pajak daerah, dan kontribusi BUMD,” ujar Kari Palimbong.

    Fraksi Golkar juga menyoroti realisasi "pendapatan transfer lainnya" yang hanya 18,30 persen, sebagai bukti lemahnya perencanaan dan target yang terlalu spekulatif.

    Dalam hal belanja daerah, tercatat anggaran sebesar Rp14,80 triliun dengan realisasi Rp12,06 triliun atau 81,51 persen, di mana belanja operasional mendominasi hingga Rp5,72 triliun (83,58 persen).

    Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah APBD memang didesain untuk pembangunan masyarakat atau sekadar menopang biaya operasional birokrasi?

    Realisasi belanja modal hanya mencapai 76,34 persen, yang dinilai telah menyebabkan penundaan pemenuhan kebutuhan publik, minimnya dampak ekonomi lokal (multiplier effect). tidak sinkronnya perencanaan dan implementasi.

    Tidak hanya itu, anggaran belanja tidak terduga sebesar Rp20 miliar tidak digunakan sama sekali. Padahal, anggaran tersebut sejatinya disiapkan untuk merespons kondisi darurat atau risiko tak terduga.

    “Ketidakterserapan ini menunjukkan tidak adanya sistem manajemen risiko fiskal yang berjalan di tubuh pemerintah daerah,” tambahnya.

    Selain itu, Fraksi Golkar mencermati bahwa penerimaan pembiayaan sebesar Rp1,77 triliun yang mayoritas berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya merupakan alarm keras bagi manajemen fiskal.

    “SILPA dalam jumlah besar bukan prestasi, melainkan bentuk anggaran yang gagal dimanfaatkan dan menjadi beban tahun berjalan berikutnya,” kata Kari.

    Penyertaan modal sebesar Rp35 miliar juga disoroti. Fraksi Golkar meminta adanya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penyertaan modal yang dinilai belum memberikan dampak nyata terhadap peningkatan PAD. Ia meminta setiap penyertaan modal harus disertai dengan audit independen, rencana bisnis yang terukur, dan indikator kinerja yang jelas.

    Lebih lanjut, Jumlah aset daerah yang mencapai Rp19,12 triliun, termasuk aset tetap senilai Rp14,14 triliun, dinilai sebagai capaian kuantitatif. Namun, Golkar menyoroti minimnya pemanfaatan produktif terhadap aset-aset tersebut.

    “Banyak aset seperti bangunan, kendaraan, dan lahan hanya menjadi beban pemeliharaan tanpa memberi kontribusi terhadap pelayanan publik atau pendapatan daerah,” ungkapnya.

    Sementara itu, kewajiban daerah yang mencapai Rp1,44 triliun, sebagian besar merupakan utang belanja, perlu dikendalikan secara strategis melalui pengendalian kewajiban jangka pendek dan reformasi belanja rutin.

    Kari Palimbong menyampaikan bahwa postur fiskal dan pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2024 masih menyisakan permasalahan serius. yang tidak bisa hanya dijawab dengan koreksi administratif atau formalitas laporan. Diperlukan reformasi struktural dan politik anggaran yang lebih berani dan progresif.

    Fraksi Golkar merekomendasikan:

    1. Redesain perencanaan anggaran berbasis data empiris, bukan asumsi makro semata.
    2. Peningkatan PAD melalui digitalisasi dan integrasi penerimaan daerah.
    3. Realokasi belanja ke sektor produktif dan berdampak langsung ke masyarakat.
    4. Penguatan kapasitas teknis SKPD dalam menyerap anggaran pembangunan.
    5. Evaluasi menyeluruh terhadap setiap penyertaan modal dan manajemen aset.

    “Fraksi Golkar berharap agar catatan kritis ini tidak dipandang sebagai oposisi terhadap pemerintah daerah, melainkan sebagai kontribusi konstruktif dalam membangun Kutai Timur yang mandiri secara fiskal, berdaulat dalam kebijakan, dan adil dalam pembangunan,” pungkasnya

    (Sf/Rs)