Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie saat diwawancara usai rapat, Rabu (19/3/2025) sore. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda – Guru di Samarinda merasa terjepit di tengah tuntutan pendidikan dan risiko hukum yang membayangi mereka. Salah sedikit, bisa berujung kasus hukum. Tidak menegur siswa, salah. Menegur, juga salah.
Kekhawatiran itu menjadi dasar munculnya usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) yang dibahas dalam rapat hearing Komisi IV DPRD Samarinda bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Rabu (19/3/2025) siang.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie mengungkapkan bahwa usulan perda ini muncul dari keresahan para pendidik yang menghadapi ancaman hukum di tengah tugas mereka mendidik siswa.
"Hari ini yang dikhawatirkan pengajar, khususnya guru, adalah kalau salah sedikit bisa terkena kasus hukum. Makanya mereka minta perlindungan secara regulasi supaya tidak terjadi bola liar atau penafsiran umum yang bisa merugikan mereka," ujar Novan saat diwawancara.
Dalam rapat tersebut, berbagai permasalahan di dunia pendidikan turut dibahas. Tidak hanya soal kekerasan atau pelecehan di sekolah, tetapi juga soal tindakan disiplin yang kerap disalahartikan oleh masyarakat.
Lebih lanjut, ia mencontohkan ada peristiwa seorang guru menegur siswa yang kemudian dilaporkan dan masuk ranah hukum. Hal-hal seperti itu menurutnya harus diperjelas lebih dulu.
Apalagi kata dia, guru bukan hanya mengajarkan pendidikan formal sesuai kurikulum, tetapi juga mendidik soal etika.
"Nah, ini yang sering salah dipersepsikan oleh masyarakat," imbuhnya.
Novan menekankan bahwa usulan raperda ini bukan untuk membenarkan tindakan kekerasan di sekolah, tetapi agar ada batasan yang jelas antara disiplin dan pelanggaran hukum.
Ia mencontohkan kasus di mana seorang guru membiarkan siswanya berperilaku negatif di kelas sebagai bentuk protes. Guru tersebut takut menegur karena khawatir terkena tuntutan hukum.
"Kalau guru membiarkan siswa bertindak tidak baik, salah. Tapi kalau menegur, juga bisa dianggap salah. Ini yang perlu diperjelas dalam perda nanti," lanjutnya.
Politisi Partai Golkar itu membeberkan bahwa raperda ini masih dalam tahap awal pembahasan dan belum masuk dalam usulan di Badan Pembentukan Perda (Bapemperda).
Karenanya, Komisi IV DPRD Samarinda akan menggali lebih dalam dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi guru seperti PGRI dan pakar hukum.
"Ini harus dibedah lebih lanjut, apakah nanti dibuat pansus atau langsung kita drafkan, tergantung bagaimana usulan ini berkembang," pungkasnya.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie saat diwawancara usai rapat, Rabu (19/3/2025) sore. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda – Guru di Samarinda merasa terjepit di tengah tuntutan pendidikan dan risiko hukum yang membayangi mereka. Salah sedikit, bisa berujung kasus hukum. Tidak menegur siswa, salah. Menegur, juga salah.
Kekhawatiran itu menjadi dasar munculnya usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) yang dibahas dalam rapat hearing Komisi IV DPRD Samarinda bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Rabu (19/3/2025) siang.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie mengungkapkan bahwa usulan perda ini muncul dari keresahan para pendidik yang menghadapi ancaman hukum di tengah tugas mereka mendidik siswa.
"Hari ini yang dikhawatirkan pengajar, khususnya guru, adalah kalau salah sedikit bisa terkena kasus hukum. Makanya mereka minta perlindungan secara regulasi supaya tidak terjadi bola liar atau penafsiran umum yang bisa merugikan mereka," ujar Novan saat diwawancara.
Dalam rapat tersebut, berbagai permasalahan di dunia pendidikan turut dibahas. Tidak hanya soal kekerasan atau pelecehan di sekolah, tetapi juga soal tindakan disiplin yang kerap disalahartikan oleh masyarakat.
Lebih lanjut, ia mencontohkan ada peristiwa seorang guru menegur siswa yang kemudian dilaporkan dan masuk ranah hukum. Hal-hal seperti itu menurutnya harus diperjelas lebih dulu.
Apalagi kata dia, guru bukan hanya mengajarkan pendidikan formal sesuai kurikulum, tetapi juga mendidik soal etika.
"Nah, ini yang sering salah dipersepsikan oleh masyarakat," imbuhnya.
Novan menekankan bahwa usulan raperda ini bukan untuk membenarkan tindakan kekerasan di sekolah, tetapi agar ada batasan yang jelas antara disiplin dan pelanggaran hukum.
Ia mencontohkan kasus di mana seorang guru membiarkan siswanya berperilaku negatif di kelas sebagai bentuk protes. Guru tersebut takut menegur karena khawatir terkena tuntutan hukum.
"Kalau guru membiarkan siswa bertindak tidak baik, salah. Tapi kalau menegur, juga bisa dianggap salah. Ini yang perlu diperjelas dalam perda nanti," lanjutnya.
Politisi Partai Golkar itu membeberkan bahwa raperda ini masih dalam tahap awal pembahasan dan belum masuk dalam usulan di Badan Pembentukan Perda (Bapemperda).
Karenanya, Komisi IV DPRD Samarinda akan menggali lebih dalam dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi guru seperti PGRI dan pakar hukum.
"Ini harus dibedah lebih lanjut, apakah nanti dibuat pansus atau langsung kita drafkan, tergantung bagaimana usulan ini berkembang," pungkasnya.
(Sf/Rs)