Dampak Pejabat Pamer Harta, Dosen Psikologi Unmul Sebut Picu Tekanan di Masyarakat

    Seputarfakta.com - Maulana -

    Seputar Kaltim

    04 September 2025 01:06 WIB

    Dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)

    Samarinda - Fenomena pejabat yang gemar memamerkan harta kekayaannya atau yang sering disebut flexing di media sosial, menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. 

    Tak hanya mengundang kritik publik, perilaku ini juga dinilai berdampak signifikan terhadap kondisi psikologis masyarakat.

    Dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda, menyebut tindakan para pejabat tersebut dapat menimbulkan tekanan tersendiri, bahkan memicu kemarahan di tengah masyarakat. 

    Hal ini terutama terasa saat kondisi ekonomi sedang sulit dan banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat.

    "Dari sisi psikologis, fenomena pejabat yang melakukan flexing sebenarnya bisa menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat yang melihatnya," ujar Ayunda, Kamis (4/9/2025).

    Menurut Ayunda, sensitivitas masyarakat terhadap perilaku flexing ini semakin meningkat karena beberapa faktor. 

    Ia menyoroti sejumlah isu, mulai dari kebijakan kenaikan pajak, pernyataan kontroversial pejabat, hingga tunjangan yang dianggap tidak masuk akal.

    "Hal-hal ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa pejabat publik tidak memiliki empati atau tone deaf terhadap kondisi sosial," tegasnya.

    Ayunda menambahkan, saat masyarakat sedang terhimpit secara ekonomi, perilaku flexing pejabat kerap diartikan sebagai bentuk ketidakadilan. 

    Terlebih jika kekayaan yang dipamerkan diduga bersumber dari pajak yang dibayarkan rakyat.

    "Ketika masyarakat membayar pajak, yang kemudian digunakan untuk menggaji para pejabat, lalu mereka justru memamerkan kekayaan tanpa rasa empati, hal ini menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam," jelas Ayunda.

    Oleh karena itu, ia menilai arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar pejabat daerah tidak melakukan flexing dan mengurangi acara seremonial yang bersifat pemborosan adalah langkah yang sangat tepat. 

    Menurutnya, sudah seharusnya para pejabat lebih menunjukkan sisi humanis dan berpihak pada kepentingan rakyat.

    "Kebijakan Mendagri untuk menghentikan perilaku flexing adalah langkah awal yang baik menuju pejabat publik yang lebih bijak dan berempati," tutupnya.

    Ayunda berharap, dengan adanya imbauan tersebut, para pejabat dapat lebih bijak dalam bersikap dan menunjukkan empati terhadap kondisi masyarakat, sehingga kesenjangan sosial tidak semakin melebar dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat terjaga.

    (Sf/Rs)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Dampak Pejabat Pamer Harta, Dosen Psikologi Unmul Sebut Picu Tekanan di Masyarakat

    Seputarfakta.com - Maulana -

    Seputar Kaltim

    04 September 2025 01:06 WIB

    Dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)

    Samarinda - Fenomena pejabat yang gemar memamerkan harta kekayaannya atau yang sering disebut flexing di media sosial, menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. 

    Tak hanya mengundang kritik publik, perilaku ini juga dinilai berdampak signifikan terhadap kondisi psikologis masyarakat.

    Dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda, menyebut tindakan para pejabat tersebut dapat menimbulkan tekanan tersendiri, bahkan memicu kemarahan di tengah masyarakat. 

    Hal ini terutama terasa saat kondisi ekonomi sedang sulit dan banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat.

    "Dari sisi psikologis, fenomena pejabat yang melakukan flexing sebenarnya bisa menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat yang melihatnya," ujar Ayunda, Kamis (4/9/2025).

    Menurut Ayunda, sensitivitas masyarakat terhadap perilaku flexing ini semakin meningkat karena beberapa faktor. 

    Ia menyoroti sejumlah isu, mulai dari kebijakan kenaikan pajak, pernyataan kontroversial pejabat, hingga tunjangan yang dianggap tidak masuk akal.

    "Hal-hal ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa pejabat publik tidak memiliki empati atau tone deaf terhadap kondisi sosial," tegasnya.

    Ayunda menambahkan, saat masyarakat sedang terhimpit secara ekonomi, perilaku flexing pejabat kerap diartikan sebagai bentuk ketidakadilan. 

    Terlebih jika kekayaan yang dipamerkan diduga bersumber dari pajak yang dibayarkan rakyat.

    "Ketika masyarakat membayar pajak, yang kemudian digunakan untuk menggaji para pejabat, lalu mereka justru memamerkan kekayaan tanpa rasa empati, hal ini menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam," jelas Ayunda.

    Oleh karena itu, ia menilai arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar pejabat daerah tidak melakukan flexing dan mengurangi acara seremonial yang bersifat pemborosan adalah langkah yang sangat tepat. 

    Menurutnya, sudah seharusnya para pejabat lebih menunjukkan sisi humanis dan berpihak pada kepentingan rakyat.

    "Kebijakan Mendagri untuk menghentikan perilaku flexing adalah langkah awal yang baik menuju pejabat publik yang lebih bijak dan berempati," tutupnya.

    Ayunda berharap, dengan adanya imbauan tersebut, para pejabat dapat lebih bijak dalam bersikap dan menunjukkan empati terhadap kondisi masyarakat, sehingga kesenjangan sosial tidak semakin melebar dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat terjaga.

    (Sf/Rs)