Belimbur: Ritual Penyucian Massal yang Menyatukan Warga di Puncak Erau

    Seputarfakta.com -

    Seputar Kaltim

    28 September 2025 12:19 WIB

    Ribuan orang mengikuti tradisi Belimbur, di Kota Tenggarong, pada Erau tahun 2022. (Dok. Pemkab Kukar)

    Samarinda - Sesuai jadwal, puncak acara yang dinantikan selama gelaran Erau Adat Kutai 2025 yaitu Belimbur, bakal berlangsung hari ini, Minggu (28/9/2025) siang. Pada jadwal yang dipublikasikan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Belimbur akan dilaksanakan mulai pukul 10.00 WITA. 

    Meskipun setelah Belimbur masih ada sederet rangkaian upacara dalam Erau, namun Belimbur adalah satu mata acara yang demikian dinanti karena melibatkan semua unsur masyarakat. Tradisi Belimbur, yang secara harfiah berarti saling menyiramkan air, jauh dari sekadar festival perang air yang meriah. Prosesi massal ini merupakan sebuah ritual sakral yang mengandung makna filosofis mendalam tentang penyucian diri, ungkapan rasa syukur, dan perekat solidaritas sosial yang telah diwariskan selama berabad-abad.

    ​Makna spiritual Belimbur sebagai sarana pembersihan diri telah menjadi subjek berbagai kajian akademis. Dalam penelitiannya yang berjudul "Kajian Tentang Tradisi Berlimbur pada Budaya Erau di Desa Kutai Lama" yang dipublikasikan di eJournal Sosiatri-Sosiologi tahun 2020, peneliti Sri Devi menjelaskan bahwa tradisi ini memiliki maksud filosofis sebagai sarana pembersihan diri dari sifat buruk dan unsur-unsur kejahatan. Lebih dari itu, Belimbur juga menjadi wujud rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas kelancaran dan keamanan selama pelaksanaan seluruh rangkaian upacara Erau. Air yang digunakan dalam ritual ini dipercaya membawa berkah dan kesucian, membersihkan jiwa dan raga setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya.

    ​Akar sejarah dan prosesi ritual ini tak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang Kesultanan Kutai Kartanegara. Prosesi inti Belimbur secara adat baru dimulai setelah kedatangan "Air Tuli," yaitu air suci yang diambil dari sumur keramat di Kutai Lama, lokasi berdirinya kerajaan Kutai pertama. Air suci ini kemudian diserahkan kepada Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Menggunakan mayang pinang yang dicelupkan ke dalam Air Tuli, Sultan akan memercikkannya kepada dirinya sendiri, keluarga keraton, dan para pejabat, sebagai simbol penyucian yang dipimpin oleh seorang pemimpin kepada rakyatnya. Setelah prosesi sakral ini selesai, barulah masyarakat umum diperkenankan untuk memulai Belimbur secara massal, menggunakan air dari Sungai Mahakam yang melambangkan kembalinya berkah kesuburan ke tanah Kutai.

    ​Selain sebagai ritual spiritual, Belimbur juga berfungsi sebagai instrumen sosial yang kuat untuk mempererat persatuan. Hal ini dibahas dalam sebuah studi berjudul "Solidaritas Umat Beragama dalam Melestarikan Kegiatan Belimbur pada Upacara Erau Adat Kutai Kartanegara" yang dimuat di ResearchGate. Penelitian tersebut mengkaji bagaimana tradisi ini mampu menciptakan solidaritas sosial yang melampaui batas-batas suku, agama, dan status sosial. Dalam kemeriahan Belimbur, sekat antara bangsawan, pejabat, dan rakyat biasa seolah luruh. Mereka berbaur menjadi satu dalam kegembiraan, saling menyiram tanpa memandang jabatan dan latar belakang, yang pada akhirnya memperkuat rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai satu komunitas besar masyarakat Kutai.

    ​Namun, di tengah modernisasi, tradisi luhur ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ada kekhawatiran bahwa makna sakral Belimbur dapat terdegradasi menjadi sekadar ajang hiburan semata. Tantangan ini menjadi fokus dalam penelitian Muhammad Dean Alfario yang berjudul "Keterlibatan Generasi Muda Pada Penerapan Tradisi Belimbur Upacara Erau di Desa Kutai Lama," yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi (2024). Alfario menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kemurnian makna tradisi. Penelitian tersebut juga mencatat adanya upaya-upaya pelestarian yang adaptif, seperti promosi budaya melalui media sosial untuk menarik minat generasi muda dan wisatawan, seraya terus mengedukasi mereka tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

    ​Pada akhirnya, Belimbur tetap menjadi puncak perayaan yang paling ditunggu, sebuah penutup yang meriah sekaligus sakral bagi Festival Erau. Tradisi ini adalah bukti hidup bagaimana kearifan lokal mampu bertahan dan beradaptasi dengan zaman. Tugas bersama bagi pemerintah, keraton, dan masyarakat adalah memastikan bahwa esensi penyucian, rasa syukur, dan persatuan dalam Belimbur tidak akan pernah hilang, sehingga generasi mendatang dapat terus merasakan berkah dan kegembiraan dari ritual warisan leluhur ini.

    *Diolah dari berbagai sumber. 

    (Sf/Rs)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Belimbur: Ritual Penyucian Massal yang Menyatukan Warga di Puncak Erau

    Seputarfakta.com -

    Seputar Kaltim

    28 September 2025 12:19 WIB

    Ribuan orang mengikuti tradisi Belimbur, di Kota Tenggarong, pada Erau tahun 2022. (Dok. Pemkab Kukar)

    Samarinda - Sesuai jadwal, puncak acara yang dinantikan selama gelaran Erau Adat Kutai 2025 yaitu Belimbur, bakal berlangsung hari ini, Minggu (28/9/2025) siang. Pada jadwal yang dipublikasikan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Belimbur akan dilaksanakan mulai pukul 10.00 WITA. 

    Meskipun setelah Belimbur masih ada sederet rangkaian upacara dalam Erau, namun Belimbur adalah satu mata acara yang demikian dinanti karena melibatkan semua unsur masyarakat. Tradisi Belimbur, yang secara harfiah berarti saling menyiramkan air, jauh dari sekadar festival perang air yang meriah. Prosesi massal ini merupakan sebuah ritual sakral yang mengandung makna filosofis mendalam tentang penyucian diri, ungkapan rasa syukur, dan perekat solidaritas sosial yang telah diwariskan selama berabad-abad.

    ​Makna spiritual Belimbur sebagai sarana pembersihan diri telah menjadi subjek berbagai kajian akademis. Dalam penelitiannya yang berjudul "Kajian Tentang Tradisi Berlimbur pada Budaya Erau di Desa Kutai Lama" yang dipublikasikan di eJournal Sosiatri-Sosiologi tahun 2020, peneliti Sri Devi menjelaskan bahwa tradisi ini memiliki maksud filosofis sebagai sarana pembersihan diri dari sifat buruk dan unsur-unsur kejahatan. Lebih dari itu, Belimbur juga menjadi wujud rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas kelancaran dan keamanan selama pelaksanaan seluruh rangkaian upacara Erau. Air yang digunakan dalam ritual ini dipercaya membawa berkah dan kesucian, membersihkan jiwa dan raga setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya.

    ​Akar sejarah dan prosesi ritual ini tak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang Kesultanan Kutai Kartanegara. Prosesi inti Belimbur secara adat baru dimulai setelah kedatangan "Air Tuli," yaitu air suci yang diambil dari sumur keramat di Kutai Lama, lokasi berdirinya kerajaan Kutai pertama. Air suci ini kemudian diserahkan kepada Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Menggunakan mayang pinang yang dicelupkan ke dalam Air Tuli, Sultan akan memercikkannya kepada dirinya sendiri, keluarga keraton, dan para pejabat, sebagai simbol penyucian yang dipimpin oleh seorang pemimpin kepada rakyatnya. Setelah prosesi sakral ini selesai, barulah masyarakat umum diperkenankan untuk memulai Belimbur secara massal, menggunakan air dari Sungai Mahakam yang melambangkan kembalinya berkah kesuburan ke tanah Kutai.

    ​Selain sebagai ritual spiritual, Belimbur juga berfungsi sebagai instrumen sosial yang kuat untuk mempererat persatuan. Hal ini dibahas dalam sebuah studi berjudul "Solidaritas Umat Beragama dalam Melestarikan Kegiatan Belimbur pada Upacara Erau Adat Kutai Kartanegara" yang dimuat di ResearchGate. Penelitian tersebut mengkaji bagaimana tradisi ini mampu menciptakan solidaritas sosial yang melampaui batas-batas suku, agama, dan status sosial. Dalam kemeriahan Belimbur, sekat antara bangsawan, pejabat, dan rakyat biasa seolah luruh. Mereka berbaur menjadi satu dalam kegembiraan, saling menyiram tanpa memandang jabatan dan latar belakang, yang pada akhirnya memperkuat rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai satu komunitas besar masyarakat Kutai.

    ​Namun, di tengah modernisasi, tradisi luhur ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ada kekhawatiran bahwa makna sakral Belimbur dapat terdegradasi menjadi sekadar ajang hiburan semata. Tantangan ini menjadi fokus dalam penelitian Muhammad Dean Alfario yang berjudul "Keterlibatan Generasi Muda Pada Penerapan Tradisi Belimbur Upacara Erau di Desa Kutai Lama," yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi (2024). Alfario menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kemurnian makna tradisi. Penelitian tersebut juga mencatat adanya upaya-upaya pelestarian yang adaptif, seperti promosi budaya melalui media sosial untuk menarik minat generasi muda dan wisatawan, seraya terus mengedukasi mereka tentang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

    ​Pada akhirnya, Belimbur tetap menjadi puncak perayaan yang paling ditunggu, sebuah penutup yang meriah sekaligus sakral bagi Festival Erau. Tradisi ini adalah bukti hidup bagaimana kearifan lokal mampu bertahan dan beradaptasi dengan zaman. Tugas bersama bagi pemerintah, keraton, dan masyarakat adalah memastikan bahwa esensi penyucian, rasa syukur, dan persatuan dalam Belimbur tidak akan pernah hilang, sehingga generasi mendatang dapat terus merasakan berkah dan kegembiraan dari ritual warisan leluhur ini.

    *Diolah dari berbagai sumber. 

    (Sf/Rs)