Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Spanduk penolakan warga Kelurahan Sungai Keledang yang terpasang di Jalan TMD, Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang. (Foto: Instagram Samarinda om/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mencuat kabar di media sosial sekitar tanggal 22 September lalu terkait adanya penolakan warga Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang terhadap pembangunan rumah ibadah.
Penolakan warga itu tergambar dari spanduk yang terpasang di depan Kantor Kelurahan Sungai Keledang, bertuliskan 'Kami Warga Sungai Keledang Menolak Adanya Gereja'.
Pembahasan terkait pendirian rumah ibadah ini menjadi hal yang sensitif di tengah keragaman budaya, suku, ras, dan agama yang ada di Kota Samarinda.
Melihat itu Camat Samarinda Seberang, Aditya Koesprayogi memberikan keterangan bahwa warganya bukan semata-mata menolak adanya pembangunan rumah ibadah itu. Hanya saja dalam prosesnya ada beberapa prosedur yang harus dilalui dengan melibatkan masyarakat setempat secara langsung.
"Penolakan itu terjadi karena belum ada dialog antara warga Sungai Keledang dengan panitia pembangunan gereja, jadi itu sebagai bentuk aspirasi warga yang belum tertampung dengan optimal," kata Aditya saat dikonfirmasi, Selasa (24/9/2024).
Pantauan Seputar Fakta di lapangan pada Rabu (25/9/2024) siang, spanduk penolakan itu saat ini sudah tidak terlalu terlihat jelas. Hanya saja bentuk fisiknya masih di tempat yang sama, di RT 24 Jalan TMD Kelurahan Sungai Keledang.
Salah seorang warga Sungai Keledang yang tak ingin diungkapkan namanya menceritakan bahwa sempat mendengar perihal pembangunan gereja itu.
Ia mengatakan mulanya hanya dimintai persetujuan terkait dengan pelaksanaan kegiatan ibadah. Namun, dari kabar yang diterimanya, hasil persetujuan beberapa warga itu menjurus ke pembangunan rumah ibadah tersebut.
"Kami bukannya tidak toleran. Kalau untuk kegiatan beribadah silahkan saja, apalagi selama ini juga tidak pernah ada masalah soal itu," ungkap warga itu.
Lebih lanjut, Seputar Fakta mendatangi Lurah Sungai Keledang, Rahmadi pada Rabu (25/9/2024) di kantornya. Ia menegaskan bahwa warganya tidak bermaksud intoleran sebagai sesama umat beragama. Hanya saja masyarakat merasa kecewa, lantaran tidak ada pembicaraan ataupun dialog hingga akhirnya timbul spanduk berisi penolakan sebagai bagian dari aspirasinya.
"Dalam prosesnya itu ada beberapa dokumen yang tidak sesuai, kemudian masyarakat juga merasa tidak pernah ada dimintai persetujuan terkait hal itu, makanya masyarakat merasa kecewa hingga terbitlah spanduk itu," kata Rahmadi saat ditemui di ruangannya, Rabu (25/9/2024).
Terlebih, ketika ingin membangun sebuah rumah ibadah harus ada beberapa persyaratan yang dipenuhi, utamanya adalah persetujuan dari masyarakat sekitar. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri (PBM) dalam Negeri dan Menteri Agama No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.
Di mana harus memenuhi persyaratan yang meliputi adanya dukungan dari masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh pihak kelurahan. Kemudian diperlukan juga data nama serta KTP pengguna rumah ibadah yang akan dibangun dengan minimal 90 orang, juga disertakan dengan rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kementerian Agama.
Ia juga mengakui bahwa sudah beberapa kali ada permohonan pembangunan rumah ibadah itu, hanya saja terkendala dengan persetujuan dari masyarakat.
Peristiwa penolakan ini pun dari beberapa masyarakat yang menolak sudah membuat surat pernyataan yang kemudian diserahkan ke FKUB oleh kelurahan sebagai bahan pertimbangan dikeluarkannya rekomendasi.
“Karena pembangunan rumah ibadah itu harus melalui persetujuan FKUB dan juga Kemenag. Kalau spanduk larangan itu hanya tindakan spontan dari warga saja, bukan berarti tidak toleransi. Jangan sampai ada spekulasi warga intoleran, karena selama ini pun tidak ada masalah,” pungkasnya.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Spanduk penolakan warga Kelurahan Sungai Keledang yang terpasang di Jalan TMD, Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang. (Foto: Instagram Samarinda om/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mencuat kabar di media sosial sekitar tanggal 22 September lalu terkait adanya penolakan warga Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang terhadap pembangunan rumah ibadah.
Penolakan warga itu tergambar dari spanduk yang terpasang di depan Kantor Kelurahan Sungai Keledang, bertuliskan 'Kami Warga Sungai Keledang Menolak Adanya Gereja'.
Pembahasan terkait pendirian rumah ibadah ini menjadi hal yang sensitif di tengah keragaman budaya, suku, ras, dan agama yang ada di Kota Samarinda.
Melihat itu Camat Samarinda Seberang, Aditya Koesprayogi memberikan keterangan bahwa warganya bukan semata-mata menolak adanya pembangunan rumah ibadah itu. Hanya saja dalam prosesnya ada beberapa prosedur yang harus dilalui dengan melibatkan masyarakat setempat secara langsung.
"Penolakan itu terjadi karena belum ada dialog antara warga Sungai Keledang dengan panitia pembangunan gereja, jadi itu sebagai bentuk aspirasi warga yang belum tertampung dengan optimal," kata Aditya saat dikonfirmasi, Selasa (24/9/2024).
Pantauan Seputar Fakta di lapangan pada Rabu (25/9/2024) siang, spanduk penolakan itu saat ini sudah tidak terlalu terlihat jelas. Hanya saja bentuk fisiknya masih di tempat yang sama, di RT 24 Jalan TMD Kelurahan Sungai Keledang.
Salah seorang warga Sungai Keledang yang tak ingin diungkapkan namanya menceritakan bahwa sempat mendengar perihal pembangunan gereja itu.
Ia mengatakan mulanya hanya dimintai persetujuan terkait dengan pelaksanaan kegiatan ibadah. Namun, dari kabar yang diterimanya, hasil persetujuan beberapa warga itu menjurus ke pembangunan rumah ibadah tersebut.
"Kami bukannya tidak toleran. Kalau untuk kegiatan beribadah silahkan saja, apalagi selama ini juga tidak pernah ada masalah soal itu," ungkap warga itu.
Lebih lanjut, Seputar Fakta mendatangi Lurah Sungai Keledang, Rahmadi pada Rabu (25/9/2024) di kantornya. Ia menegaskan bahwa warganya tidak bermaksud intoleran sebagai sesama umat beragama. Hanya saja masyarakat merasa kecewa, lantaran tidak ada pembicaraan ataupun dialog hingga akhirnya timbul spanduk berisi penolakan sebagai bagian dari aspirasinya.
"Dalam prosesnya itu ada beberapa dokumen yang tidak sesuai, kemudian masyarakat juga merasa tidak pernah ada dimintai persetujuan terkait hal itu, makanya masyarakat merasa kecewa hingga terbitlah spanduk itu," kata Rahmadi saat ditemui di ruangannya, Rabu (25/9/2024).
Terlebih, ketika ingin membangun sebuah rumah ibadah harus ada beberapa persyaratan yang dipenuhi, utamanya adalah persetujuan dari masyarakat sekitar. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri (PBM) dalam Negeri dan Menteri Agama No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.
Di mana harus memenuhi persyaratan yang meliputi adanya dukungan dari masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh pihak kelurahan. Kemudian diperlukan juga data nama serta KTP pengguna rumah ibadah yang akan dibangun dengan minimal 90 orang, juga disertakan dengan rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kementerian Agama.
Ia juga mengakui bahwa sudah beberapa kali ada permohonan pembangunan rumah ibadah itu, hanya saja terkendala dengan persetujuan dari masyarakat.
Peristiwa penolakan ini pun dari beberapa masyarakat yang menolak sudah membuat surat pernyataan yang kemudian diserahkan ke FKUB oleh kelurahan sebagai bahan pertimbangan dikeluarkannya rekomendasi.
“Karena pembangunan rumah ibadah itu harus melalui persetujuan FKUB dan juga Kemenag. Kalau spanduk larangan itu hanya tindakan spontan dari warga saja, bukan berarti tidak toleransi. Jangan sampai ada spekulasi warga intoleran, karena selama ini pun tidak ada masalah,” pungkasnya.
(Sf/Rs)