Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Rina Juwita. (Foto: Dokumentasi Rina/Seputarfakta.com)
Samarinda - Tugu Pesut Mahakam yang ada di persimpangan kawasan Mal Lembuswana Samarinda menjadi salah satu landmark baru yang menarik perhatian, tidak hanya dari segi estetika, tetapi juga dalam hal simbolisme.
Menurut Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Rina Juwita, tugu ini dapat dianalisis melalui pendekatan teori semiotika Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce untuk memahami makna di balik desainnya. Belakangan, ramai publik memperbincangkan tugu tersebut dan sedikit meragukan keberadaannya yang terlihat tidak seperti ikan khas yang hidup di Sungai Mahakam itu.
Ia menjelaskan, dalam teori Saussure, setiap tanda terdiri atas dua elemen utama, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam konteks Tugu Pesut Mahakam itu, kata Rina, penanda merujuk pada bentuk visual tugu, yakni lingkaran besar berwarna merah muda dengan desain modern dan minimalis.
"Secara petanda, tugu ini dimaknai sebagai upaya menciptakan identitas baru bagi Kota Samarinda. Meskipun desainnya abstrak, tugu ini merepresentasikan Pesut Mahakam sebagai simbol khas Samarinda dan Kalimantan Timur," jelas Rina saat dikonfirmasi media ini, Selasa (7/1/2024).
Namun, meskipun mengacu pada identitas lokal, representasi Pesut Mahakam dalam desain ini tidak literal. Menurutnya, ini berisiko membuat simbolisme ekologis tentang spesies yang terancam punah menjadi kurang jelas bagi masyarakat umum.
Jika dilihat melalui teori Peirce, tanda dibagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Rina menjelaskan, secara ikon, bentuk lingkaran tugu dapat diasosiasikan dengan aliran Sungai Mahakam yang menjadi habitat pesut. Sebagai indeks, tugu ini merujuk pada identitas geografis Samarinda sebagai kota yang berada di tepi sungai besar.
Kemudian, secara simbol, warna merah muda dan desain modern menunjukkan semangat inklusivitas dan upaya pemerintah kota untuk tampil lebih kontemporer.
Namun, Rina menekankan bahwa makna simbol ini membutuhkan konteks tambahan agar pesan konservasi tentang Pesut Mahakam dapat tersampaikan secara efektif. "Bentuk abstrak dan pilihan warna yang mencolok mungkin lebih dikesankan sebagai elemen estetika ketimbang pesan budaya atau ekologis," tambahnya.
Dengan demesain abstrak tugu ini, Rina menyoroti bahwa tanpa narasi pendukung seperti papan informasi atau kampanye publik, pesan konservasi tentang Pesut Mahakam, spesies khas Kalimantan Timur yang kini menghadapi ancaman kepunahan berisiko tidak tersampaikan.
“Simbol ini memang bisa diartikan sebagai pesan konservasi Pesut Mahakam, tetapi makna tersebut tidak muncul secara eksplisit. Perlu elemen pendukung agar masyarakat memahami relevansi ekologis dari tugu ini,” ungkapnya.
Perempuan yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Bidang Akademik di FISIPOL Universitas Mulawarman ini menyimpulkan bahwa Tugu Pesut Mahakam yang ada saat ini adalah representasi visual yang kaya makna dan interpretasi. Namun, keberhasilan komunikasinya sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat diberikan konteks dan penjelasan.
Dengan kombinasi desain modern dan simbolisme lokal, tugu itu menurutnya bisa memperkuat citra Samarinda sebagai kota yang progresif sekaligus menghormati identitas dan warisan budayanya. Namun, untuk mencapai itu, Rina menyampaikan bahwa pemerintah perlu mengintegrasikan elemen edukasi dan kampanye yang kuat agar pesan konservasi lebih jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat.
"Tugu ini bisa menjadi media yang efektif untuk mengangkat diskusi publik tentang pelestarian ikon lokal seperti Pesut Mahakam, tetapi harus ada narasi yang mendukungnya," pungkasnya.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Rina Juwita. (Foto: Dokumentasi Rina/Seputarfakta.com)
Samarinda - Tugu Pesut Mahakam yang ada di persimpangan kawasan Mal Lembuswana Samarinda menjadi salah satu landmark baru yang menarik perhatian, tidak hanya dari segi estetika, tetapi juga dalam hal simbolisme.
Menurut Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Rina Juwita, tugu ini dapat dianalisis melalui pendekatan teori semiotika Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce untuk memahami makna di balik desainnya. Belakangan, ramai publik memperbincangkan tugu tersebut dan sedikit meragukan keberadaannya yang terlihat tidak seperti ikan khas yang hidup di Sungai Mahakam itu.
Ia menjelaskan, dalam teori Saussure, setiap tanda terdiri atas dua elemen utama, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam konteks Tugu Pesut Mahakam itu, kata Rina, penanda merujuk pada bentuk visual tugu, yakni lingkaran besar berwarna merah muda dengan desain modern dan minimalis.
"Secara petanda, tugu ini dimaknai sebagai upaya menciptakan identitas baru bagi Kota Samarinda. Meskipun desainnya abstrak, tugu ini merepresentasikan Pesut Mahakam sebagai simbol khas Samarinda dan Kalimantan Timur," jelas Rina saat dikonfirmasi media ini, Selasa (7/1/2024).
Namun, meskipun mengacu pada identitas lokal, representasi Pesut Mahakam dalam desain ini tidak literal. Menurutnya, ini berisiko membuat simbolisme ekologis tentang spesies yang terancam punah menjadi kurang jelas bagi masyarakat umum.
Jika dilihat melalui teori Peirce, tanda dibagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Rina menjelaskan, secara ikon, bentuk lingkaran tugu dapat diasosiasikan dengan aliran Sungai Mahakam yang menjadi habitat pesut. Sebagai indeks, tugu ini merujuk pada identitas geografis Samarinda sebagai kota yang berada di tepi sungai besar.
Kemudian, secara simbol, warna merah muda dan desain modern menunjukkan semangat inklusivitas dan upaya pemerintah kota untuk tampil lebih kontemporer.
Namun, Rina menekankan bahwa makna simbol ini membutuhkan konteks tambahan agar pesan konservasi tentang Pesut Mahakam dapat tersampaikan secara efektif. "Bentuk abstrak dan pilihan warna yang mencolok mungkin lebih dikesankan sebagai elemen estetika ketimbang pesan budaya atau ekologis," tambahnya.
Dengan demesain abstrak tugu ini, Rina menyoroti bahwa tanpa narasi pendukung seperti papan informasi atau kampanye publik, pesan konservasi tentang Pesut Mahakam, spesies khas Kalimantan Timur yang kini menghadapi ancaman kepunahan berisiko tidak tersampaikan.
“Simbol ini memang bisa diartikan sebagai pesan konservasi Pesut Mahakam, tetapi makna tersebut tidak muncul secara eksplisit. Perlu elemen pendukung agar masyarakat memahami relevansi ekologis dari tugu ini,” ungkapnya.
Perempuan yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Bidang Akademik di FISIPOL Universitas Mulawarman ini menyimpulkan bahwa Tugu Pesut Mahakam yang ada saat ini adalah representasi visual yang kaya makna dan interpretasi. Namun, keberhasilan komunikasinya sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat diberikan konteks dan penjelasan.
Dengan kombinasi desain modern dan simbolisme lokal, tugu itu menurutnya bisa memperkuat citra Samarinda sebagai kota yang progresif sekaligus menghormati identitas dan warisan budayanya. Namun, untuk mencapai itu, Rina menyampaikan bahwa pemerintah perlu mengintegrasikan elemen edukasi dan kampanye yang kuat agar pesan konservasi lebih jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat.
"Tugu ini bisa menjadi media yang efektif untuk mengangkat diskusi publik tentang pelestarian ikon lokal seperti Pesut Mahakam, tetapi harus ada narasi yang mendukungnya," pungkasnya.
(Sf/Rs)