Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Plt Kepala DP2KB Kota Samarinda, Isfihani. (Foto: Tria/Seputarfakt.com)
Samarinda – Sebanyak 18.039 keluarga di Kota Samarinda tercatat sebagai kelompok berisiko tinggi mengalami stunting.
Hal itu diungkapkan oleh Plt Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kota Samarinda, Isfihani. Menurutnya, upaya penanggulangan stunting tidak bisa hanya mengandalkan intervensi spesifik dari sektor kesehatan.
Lebih dari 3.000 anak yang sudah mengalami stunting, penanganan medis seperti pemberian obat dan suplemen menurutnya hanya berkontribusi sekitar 30 persen.
"Sisanya, 70 persen sangat bergantung pada intervensi sensitif dari lintas OPD,” kata Isfihani.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa intervensi sensitif meliputi upaya menyeluruh, seperti penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi, peningkatan kunjungan posyandu, hingga edukasi dan pemberdayaan ekonomi keluarga.
Saat ini kata dia tercatat masih ada sekitar 5.000 keluarga di Samarinda yang belum memiliki akses air bersih dan sekitar 500 rumah yang tidak memiliki jamban.
“Kalau rumah itu milik sendiri, kita bisa bantu bangunkan jamban. Tapi kalau rumah sewa, bagaimana? Tahun ini Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) ada siapkan 500 septic tank, tapi harus diprioritaskan ke 18 ribu keluarga berisiko itu,” tambahnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam intervensi adalah masih rendahnya tingkat kunjungan ibu hamil dan balita ke posyandu. Karena itu, komitmen seluruh pihak dibutuhkan agar sasaran benar-benar terjangkau layanan program ini.
Mantan Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Dinsos PM) ini juga menyoroti lemahnya alokasi anggaran untuk kader posyandu. “Dinas Sosial hanya memiliki anggaran Rp470 juta untuk kader pembangunan manusia di 59 kelurahan. Satu kader per kelurahan tentu tidak cukup,” katanya.
Sebagai solusi, DP2KB mengusulkan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang kini berjumlah 999 orang, terdiri dari unsur PKK, DP2KB, dan tenaga kesehatan. Ia berharap mereka dapat bertugas melakukan kunjungan rutin kepada ibu hamil dan balita, terutama selama masa emas seribu hari kehidupan secara berkala.
“Stunting terjadi sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Jadi harus dijaga sejak dini, minimal mereka bisa berkunjung ke rumah-rumah minimal sebulan sekali,” ujarnya.
Isfihani menekankan bahwa penanganan harus menyeluruh dari hulu ke hilir. Misal, dari remaja, calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, hingga anak usia lima tahun, semuanya harus menjadi sasaran. Termasuk edukasi KB agar tidak terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, atau terlalu banyak anak.
Meski begitu, Samarinda menunjukkan tren penurunan angka stunting sebesar 0,9 persen, dari 25,3 persen menjadi 24,4 persen.
Delapan kecamatan seperti Samarinda Seberang, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Loa Janan Ilir, Palaran, Sambutan, dan Samarinda Ilir mencatat penurunan signifikan berkat pendekatan kolaboratif, termasuk kerja sama dengan pihak swasta.
Namun, peningkatan angka stunting masih terjadi di dua kecamatan, yakni Samarinda Utara dan Sungai Pinang.
“Semua faktor berkontribusi, bukan cuma sanitasi, tapi juga kemiskinan dan minimnya edukasi. Karena itu pendekatan konvergensi mutlak dilakukan,” ungkapnya.
Saat ini, koordinasi di tingkat kota dinilai sudah cukup berjalan, namun di tingkat kelurahan masih menjadi perhatian. Banyak kelurahan belum memiliki data stunting secara rinci, sehingga menyulitkan penanganan tepat sasaran.
Target penurunan angka stunting nasional berdasarkan Perpres 72 Tahun 2021 adalah persen. Namun, pemerintah pusat melalui Kementerian Bappenas telah menetapkan target baru untuk 2025 sebesar 18 persen. Sedangkan untuk Kota Samarinda sendiri menargetkan penurunan stunting menjadi 16 persen.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Seputar Kaltim
Plt Kepala DP2KB Kota Samarinda, Isfihani. (Foto: Tria/Seputarfakt.com)
Samarinda – Sebanyak 18.039 keluarga di Kota Samarinda tercatat sebagai kelompok berisiko tinggi mengalami stunting.
Hal itu diungkapkan oleh Plt Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kota Samarinda, Isfihani. Menurutnya, upaya penanggulangan stunting tidak bisa hanya mengandalkan intervensi spesifik dari sektor kesehatan.
Lebih dari 3.000 anak yang sudah mengalami stunting, penanganan medis seperti pemberian obat dan suplemen menurutnya hanya berkontribusi sekitar 30 persen.
"Sisanya, 70 persen sangat bergantung pada intervensi sensitif dari lintas OPD,” kata Isfihani.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa intervensi sensitif meliputi upaya menyeluruh, seperti penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi, peningkatan kunjungan posyandu, hingga edukasi dan pemberdayaan ekonomi keluarga.
Saat ini kata dia tercatat masih ada sekitar 5.000 keluarga di Samarinda yang belum memiliki akses air bersih dan sekitar 500 rumah yang tidak memiliki jamban.
“Kalau rumah itu milik sendiri, kita bisa bantu bangunkan jamban. Tapi kalau rumah sewa, bagaimana? Tahun ini Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) ada siapkan 500 septic tank, tapi harus diprioritaskan ke 18 ribu keluarga berisiko itu,” tambahnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam intervensi adalah masih rendahnya tingkat kunjungan ibu hamil dan balita ke posyandu. Karena itu, komitmen seluruh pihak dibutuhkan agar sasaran benar-benar terjangkau layanan program ini.
Mantan Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Dinsos PM) ini juga menyoroti lemahnya alokasi anggaran untuk kader posyandu. “Dinas Sosial hanya memiliki anggaran Rp470 juta untuk kader pembangunan manusia di 59 kelurahan. Satu kader per kelurahan tentu tidak cukup,” katanya.
Sebagai solusi, DP2KB mengusulkan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang kini berjumlah 999 orang, terdiri dari unsur PKK, DP2KB, dan tenaga kesehatan. Ia berharap mereka dapat bertugas melakukan kunjungan rutin kepada ibu hamil dan balita, terutama selama masa emas seribu hari kehidupan secara berkala.
“Stunting terjadi sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Jadi harus dijaga sejak dini, minimal mereka bisa berkunjung ke rumah-rumah minimal sebulan sekali,” ujarnya.
Isfihani menekankan bahwa penanganan harus menyeluruh dari hulu ke hilir. Misal, dari remaja, calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, hingga anak usia lima tahun, semuanya harus menjadi sasaran. Termasuk edukasi KB agar tidak terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, atau terlalu banyak anak.
Meski begitu, Samarinda menunjukkan tren penurunan angka stunting sebesar 0,9 persen, dari 25,3 persen menjadi 24,4 persen.
Delapan kecamatan seperti Samarinda Seberang, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Loa Janan Ilir, Palaran, Sambutan, dan Samarinda Ilir mencatat penurunan signifikan berkat pendekatan kolaboratif, termasuk kerja sama dengan pihak swasta.
Namun, peningkatan angka stunting masih terjadi di dua kecamatan, yakni Samarinda Utara dan Sungai Pinang.
“Semua faktor berkontribusi, bukan cuma sanitasi, tapi juga kemiskinan dan minimnya edukasi. Karena itu pendekatan konvergensi mutlak dilakukan,” ungkapnya.
Saat ini, koordinasi di tingkat kota dinilai sudah cukup berjalan, namun di tingkat kelurahan masih menjadi perhatian. Banyak kelurahan belum memiliki data stunting secara rinci, sehingga menyulitkan penanganan tepat sasaran.
Target penurunan angka stunting nasional berdasarkan Perpres 72 Tahun 2021 adalah persen. Namun, pemerintah pusat melalui Kementerian Bappenas telah menetapkan target baru untuk 2025 sebesar 18 persen. Sedangkan untuk Kota Samarinda sendiri menargetkan penurunan stunting menjadi 16 persen.
(Sf/Rs)