Serangan Fajar dalam Pandangan Islam, Katolik dan Buddha 

    Seputarfakta.com  -

    Politik

    13 Februari 2024 04:19 WIB

    Serangan Fajar, adalah istilah yang dipahami sebagai tindakan politik uang. (ilustrasi freepik.com)

    Samarinda - Jelang hari Pemungutan Suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang digelar Rabu 14 Februari 2024 besok, masyarakat tengah dihebohkan dengan istilah 'Serangan Fajar'. 
    Istilah ini, dipahami publik sebagai aktivitas jual beli suara dalam konteks Pemilu. “Serangan Fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.

    Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.

    Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.
    Adapun pada ayat 6 yang berbunyi: Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.

    Meskipun telah dipahami sebagai sesuatu yang melanggar norma dan aturan yang berlaku, namun tak sedikit masyarakat juga para peserta Pemilu yang masih melakukannya. Baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Berikut ini, Seputar Fakta menyajikan pandangan 3 agama terkait fenomena ini. 

    ISLAM

    Dalam Islam, serangan fajar atau pemberian uang kepada pemilih pada pagi hari pemilu merupakan bentuk rishwah atau suap yang dilarang dalam Islam. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, Profesor Bambang Iswanto.

    Menurut Bambang, serangan fajar mengandung maksud tertentu dari pemberi, yaitu agar pemilih memilih salah satu calon yang sedang bertarung dalam kontestasi politik. Ini bertentangan dengan hukum agama yang mengatur tentang larangan rishwah.

    "Rishwah itu sudah ada hukumnya dalam Al-Qur'an, di surah Al-Baqoroh Ayat 188 dan surah Al-Maidah Ayat 42. Juga ada di riwayat Hadis nabi Muhammad Saw. Jadi, kalau ada yang memberi uang dengan maksud seperti itu, dan orang itu menerima, maka itu termasuk rishwah atau suap," jelas Bambang melalui sambungan telepon, Selasa (13/2/2024) malam. 

    Bambang menambahkan, hukum rishwah ini juga sejalan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang tersebut, ada pasal yang mengatur tentang larangan penerimaan imbalan dalam bentuk apapun oleh pemilih.

    "Serangan fajar itu hukumnya haram, karena itu merusak tatanan negara. Apalagi, dalam praktiknya, serangan fajar itu tidak ada manfaatnya, hanya ada kerugian. Ini sudah ada contohnya di zaman Rasulullah, bahwa rishwah itu merusak keadilan dan kesejahteraan," ujar Bambang.

    Bambang berharap, pemilu yang akan digelar besok, Rabu (14/2/2024), dapat berlangsung dengan aman dan lancar. Ia juga mengimbau kepada masyarakat, agar tidak terpengaruh oleh serangan fajar, dan menolak pemberian uang yang bermaksud mempengaruhi pilihan.

    "Kita harus kuatkan iman kita, bentengi hati kita, bahwa serangan fajar itu tidak benar di mata agama dan hukum negara. Tolak jika ada yang memberi uang dengan maksud seperti itu. Mari kita ciptakan pemilu yang bersih, karena ini tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang baik dan benar," pesannya.

    Bambang juga mengingatkan, setelah pemilu selesai, masyarakat harus tetap menjaga persaudaraan dan ukhuwah, meskipun memiliki pilihan yang berbeda. Ia mengajak masyarakat untuk menghormati hasil pemilu, dan tidak terlibat dalam konflik atau pertikaian.

    "Jangan sampai karena beda pilihan, kita jadi bermusuhan. Mari kita jalani pemilu ini dengan cara yang benar, dari awal sampai akhir. Semoga Allah memberkahi kita semua," tutup Bambang.

    KATOLIK  

    Pendapat serupa disampaikan RD. Moses Komela, Pastor Paroki Katedral Samarinda. Ia mengingatkan masyarakat agar dapat memilih dengan cerdas. Ia bilang, secara prinsip Pemilu dalam Gereja Katolik adalah untuk kesejahteraan umum. 

    “Orang yang memberikan serangan fajar itu orang yang tidak mampu menghantarkan visi dan misi nya dan programnya untuk meyakinkan masyarakat. Apa yang harus dilakukan untuk mencapai kesejahteraan umum,” jelas Moses Komela saat ditanya Seputar Fakta lewat sambungan telepon, Selasa (13/2/2024) malam.

    Karena pandangannya adalah bukan soal uang. Tapi bagaimana kita (masyarakat) memberikan kepada negara sebuah kekuasaan. Melalui visi misi, dan nilai-nilai yang tegak lurus dengan kesejahteraan umum, bukan kepentingan pribadi ataupun kelompok. 

    Menurutnya, politik adalah ilmu untuk mengelola kekuasaan. Di mana kekuasaan itu difungsikan untuk mencapai kesejahteraan umum.

    Ia menyampaikan, yang menjadi perhatian gereja katolik adalah nilai-nilai dalam visi misi yang diberikan oleh para calon. Kemudian nilai-nilai yang menggerakan pada unsur kesejahteraan umum atau kebaikan umum.

    “Maka diambil prinsip bahwa dalam kitab suci itu kan, berikan kepada kaisar apa yang jadi milik kaisar. Berikan kepada Tuhan apa yg jadi milik Tuhan,” kata Moses Komela.

    Dari prinsip itu, menurutnya orang dalam konteks pemilihan umum seperti ini pasti memberikan suaranya kepada calon penguasa yang memang punya nilai-nilai visi  misi dan program untuk kesejahteraan umum.

    Oleh karena itu, menurutnya, orang yang melakukan serangan fajar adalah orang yang tidak mampu menyampaikan visi misi dan nilai-nilai yang dimilikinya untuk meyakinkan masyarakat. 

    “Politik uang kan itu dilarang pelaksanaannya. Jadi bagi kita bukan hanya bagi gereja katolik, itu dianggap pelanggaran baik yang memberi maupun menerima. Kalau ada orang yang menerima itu, maka akan diproses sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Moses Komela.

    Pastor Paroki Katedral Samarinda itu menegaskan, hal yang dapat merusak kepentingan umum jangan sampai merusak tujuan dari politik itu sendiri. 

    BUDDHA

    Tak jauh berbeda, dalam agama Buddha, serangan fajar menurut Romo Pandita Hendri Suwito, dikategorikan sebagai tindakan curang. Dan sebagaimana hukum karma yang dianut pengikut Buddha, segala perbuatan akan mendapatkan balasan. Berbuat baik mendapat balasan baik. Berbuat buruk atau curang, maka akan mendapat karma buruk pula. 

    "Sesuai keyakinan umat Buddha tentang Hukum Karma, apabila kita ikut terlibat didalam sesuatu hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran, maka Karma akan berlaku pada hidup kita," jelas Pdt Hendri, kepada Seputar Fakta Selasa (13/2/2024) malam.

    Oleh karenanya, lanjut dia Umat Buddha, sebaiknya sudah memahami arti Ehipassiko yakni jangan melihat kandidat berdasarkan desas - desus, rumor, tradisi keluarga, atau hanya sekadar pengaruh dari sarana media, atau media sosial. Sehingga mampu untuk datang, melihat, dan tentukan dengan kebijaksanaan untuk menetapkan pilihan.

    "Umat Buddha menolak segala bentuk atau cara yang dilakukan di dalam pesta demokrasi, jika dilakukan dengan kecurangan atau tidak sesuai dengan prinsip kebenaran, karena sebagaimana yang telah disarikan didalam Dhammapada IX . 123, yang berbunyi : "Bagaikan seorang Saudagar dengan sedikit pengawal, membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya, demilikian pula orang yang mencintai hidup, hendaknya menghindari racun, dan hal-hal yang jahat," pungkas Romo Hendri.

    (Sf/Rs)

    TIM LIPUTAN
    1. Maulana (Kalimantan Timur)
    2. Tria (Samarinda)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Serangan Fajar dalam Pandangan Islam, Katolik dan Buddha 

    Seputarfakta.com  -

    Politik

    13 Februari 2024 04:19 WIB

    Serangan Fajar, adalah istilah yang dipahami sebagai tindakan politik uang. (ilustrasi freepik.com)

    Samarinda - Jelang hari Pemungutan Suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang digelar Rabu 14 Februari 2024 besok, masyarakat tengah dihebohkan dengan istilah 'Serangan Fajar'. 
    Istilah ini, dipahami publik sebagai aktivitas jual beli suara dalam konteks Pemilu. “Serangan Fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.

    Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.

    Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.
    Adapun pada ayat 6 yang berbunyi: Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.

    Meskipun telah dipahami sebagai sesuatu yang melanggar norma dan aturan yang berlaku, namun tak sedikit masyarakat juga para peserta Pemilu yang masih melakukannya. Baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Berikut ini, Seputar Fakta menyajikan pandangan 3 agama terkait fenomena ini. 

    ISLAM

    Dalam Islam, serangan fajar atau pemberian uang kepada pemilih pada pagi hari pemilu merupakan bentuk rishwah atau suap yang dilarang dalam Islam. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, Profesor Bambang Iswanto.

    Menurut Bambang, serangan fajar mengandung maksud tertentu dari pemberi, yaitu agar pemilih memilih salah satu calon yang sedang bertarung dalam kontestasi politik. Ini bertentangan dengan hukum agama yang mengatur tentang larangan rishwah.

    "Rishwah itu sudah ada hukumnya dalam Al-Qur'an, di surah Al-Baqoroh Ayat 188 dan surah Al-Maidah Ayat 42. Juga ada di riwayat Hadis nabi Muhammad Saw. Jadi, kalau ada yang memberi uang dengan maksud seperti itu, dan orang itu menerima, maka itu termasuk rishwah atau suap," jelas Bambang melalui sambungan telepon, Selasa (13/2/2024) malam. 

    Bambang menambahkan, hukum rishwah ini juga sejalan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang tersebut, ada pasal yang mengatur tentang larangan penerimaan imbalan dalam bentuk apapun oleh pemilih.

    "Serangan fajar itu hukumnya haram, karena itu merusak tatanan negara. Apalagi, dalam praktiknya, serangan fajar itu tidak ada manfaatnya, hanya ada kerugian. Ini sudah ada contohnya di zaman Rasulullah, bahwa rishwah itu merusak keadilan dan kesejahteraan," ujar Bambang.

    Bambang berharap, pemilu yang akan digelar besok, Rabu (14/2/2024), dapat berlangsung dengan aman dan lancar. Ia juga mengimbau kepada masyarakat, agar tidak terpengaruh oleh serangan fajar, dan menolak pemberian uang yang bermaksud mempengaruhi pilihan.

    "Kita harus kuatkan iman kita, bentengi hati kita, bahwa serangan fajar itu tidak benar di mata agama dan hukum negara. Tolak jika ada yang memberi uang dengan maksud seperti itu. Mari kita ciptakan pemilu yang bersih, karena ini tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang baik dan benar," pesannya.

    Bambang juga mengingatkan, setelah pemilu selesai, masyarakat harus tetap menjaga persaudaraan dan ukhuwah, meskipun memiliki pilihan yang berbeda. Ia mengajak masyarakat untuk menghormati hasil pemilu, dan tidak terlibat dalam konflik atau pertikaian.

    "Jangan sampai karena beda pilihan, kita jadi bermusuhan. Mari kita jalani pemilu ini dengan cara yang benar, dari awal sampai akhir. Semoga Allah memberkahi kita semua," tutup Bambang.

    KATOLIK  

    Pendapat serupa disampaikan RD. Moses Komela, Pastor Paroki Katedral Samarinda. Ia mengingatkan masyarakat agar dapat memilih dengan cerdas. Ia bilang, secara prinsip Pemilu dalam Gereja Katolik adalah untuk kesejahteraan umum. 

    “Orang yang memberikan serangan fajar itu orang yang tidak mampu menghantarkan visi dan misi nya dan programnya untuk meyakinkan masyarakat. Apa yang harus dilakukan untuk mencapai kesejahteraan umum,” jelas Moses Komela saat ditanya Seputar Fakta lewat sambungan telepon, Selasa (13/2/2024) malam.

    Karena pandangannya adalah bukan soal uang. Tapi bagaimana kita (masyarakat) memberikan kepada negara sebuah kekuasaan. Melalui visi misi, dan nilai-nilai yang tegak lurus dengan kesejahteraan umum, bukan kepentingan pribadi ataupun kelompok. 

    Menurutnya, politik adalah ilmu untuk mengelola kekuasaan. Di mana kekuasaan itu difungsikan untuk mencapai kesejahteraan umum.

    Ia menyampaikan, yang menjadi perhatian gereja katolik adalah nilai-nilai dalam visi misi yang diberikan oleh para calon. Kemudian nilai-nilai yang menggerakan pada unsur kesejahteraan umum atau kebaikan umum.

    “Maka diambil prinsip bahwa dalam kitab suci itu kan, berikan kepada kaisar apa yang jadi milik kaisar. Berikan kepada Tuhan apa yg jadi milik Tuhan,” kata Moses Komela.

    Dari prinsip itu, menurutnya orang dalam konteks pemilihan umum seperti ini pasti memberikan suaranya kepada calon penguasa yang memang punya nilai-nilai visi  misi dan program untuk kesejahteraan umum.

    Oleh karena itu, menurutnya, orang yang melakukan serangan fajar adalah orang yang tidak mampu menyampaikan visi misi dan nilai-nilai yang dimilikinya untuk meyakinkan masyarakat. 

    “Politik uang kan itu dilarang pelaksanaannya. Jadi bagi kita bukan hanya bagi gereja katolik, itu dianggap pelanggaran baik yang memberi maupun menerima. Kalau ada orang yang menerima itu, maka akan diproses sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Moses Komela.

    Pastor Paroki Katedral Samarinda itu menegaskan, hal yang dapat merusak kepentingan umum jangan sampai merusak tujuan dari politik itu sendiri. 

    BUDDHA

    Tak jauh berbeda, dalam agama Buddha, serangan fajar menurut Romo Pandita Hendri Suwito, dikategorikan sebagai tindakan curang. Dan sebagaimana hukum karma yang dianut pengikut Buddha, segala perbuatan akan mendapatkan balasan. Berbuat baik mendapat balasan baik. Berbuat buruk atau curang, maka akan mendapat karma buruk pula. 

    "Sesuai keyakinan umat Buddha tentang Hukum Karma, apabila kita ikut terlibat didalam sesuatu hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran, maka Karma akan berlaku pada hidup kita," jelas Pdt Hendri, kepada Seputar Fakta Selasa (13/2/2024) malam.

    Oleh karenanya, lanjut dia Umat Buddha, sebaiknya sudah memahami arti Ehipassiko yakni jangan melihat kandidat berdasarkan desas - desus, rumor, tradisi keluarga, atau hanya sekadar pengaruh dari sarana media, atau media sosial. Sehingga mampu untuk datang, melihat, dan tentukan dengan kebijaksanaan untuk menetapkan pilihan.

    "Umat Buddha menolak segala bentuk atau cara yang dilakukan di dalam pesta demokrasi, jika dilakukan dengan kecurangan atau tidak sesuai dengan prinsip kebenaran, karena sebagaimana yang telah disarikan didalam Dhammapada IX . 123, yang berbunyi : "Bagaikan seorang Saudagar dengan sedikit pengawal, membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya, demilikian pula orang yang mencintai hidup, hendaknya menghindari racun, dan hal-hal yang jahat," pungkas Romo Hendri.

    (Sf/Rs)

    TIM LIPUTAN
    1. Maulana (Kalimantan Timur)
    2. Tria (Samarinda)