Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Politik
Mantan Anggota Bawaslu Kaltim, Ebin Marwi dalam Sosialisasi Peran Media dalam Meningkatkan Pengawasan Partisipatif Pilkada 2024 di Setiap Hari Coffee, Kota Samarinda, Sabtu (13/7/2024) malam. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Timur, Ebin Marwi, menyatakan bahwa mahar politik menjadi benalu demokrasi yang signifikan.
Menurut Ebin, larangan mahar politik merupakan hal yang penting karena praktik ini sangat masif terjadi. Ia menilai orang yang membeli dukungan partai politik tanpa memberikan mahar adalah sesuatu yang tidak realistis.
"Mahar politik ini sulit dideteksi dan menjadi kerawanan yang paling penting," ujar Ebin, Sabtu (13/7/2024).
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik, termasuk dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam Pasal 47 UU tersebut, disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota. Ancaman pidana untuk pelanggaran ini diatur dalam Pasal 187b.
Ebin juga menyebutkan bahwa banyak kasus mahar politik yang tidak pernah terselesaikan dan kandas di tengah jalan.
"Kewenangan yang diberikan oleh UU tidak sampai untuk mengungkap itu oleh Bawaslu. Kita harap ada penambahan kewenangan untuk Bawaslu," tambahnya.
Selain itu, Direktur LBH SIKAP Balikpapan ini juga menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan, terutama oleh petahana. Apalagi saat ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim diduduki oleh petahana, yang berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
“Aparatur Sipil Negara (ASN) mudah dipolitisasi dalam Pilkada,” ujarnya.
Ia menceritakan bahwa Bawaslu RI pernah merekomendasikan diskualifikasi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) pada Pilkada 2020, karena sebelum enam bulan penetapan, bupati tersebut membagikan laptop yang dinilai sebagai bentuk kampanye.
"Dua hal itu nyaris tidak bisa ditangani Bawaslu," pungkas Ebin.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Tria -
Politik
Mantan Anggota Bawaslu Kaltim, Ebin Marwi dalam Sosialisasi Peran Media dalam Meningkatkan Pengawasan Partisipatif Pilkada 2024 di Setiap Hari Coffee, Kota Samarinda, Sabtu (13/7/2024) malam. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Timur, Ebin Marwi, menyatakan bahwa mahar politik menjadi benalu demokrasi yang signifikan.
Menurut Ebin, larangan mahar politik merupakan hal yang penting karena praktik ini sangat masif terjadi. Ia menilai orang yang membeli dukungan partai politik tanpa memberikan mahar adalah sesuatu yang tidak realistis.
"Mahar politik ini sulit dideteksi dan menjadi kerawanan yang paling penting," ujar Ebin, Sabtu (13/7/2024).
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik, termasuk dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam Pasal 47 UU tersebut, disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota. Ancaman pidana untuk pelanggaran ini diatur dalam Pasal 187b.
Ebin juga menyebutkan bahwa banyak kasus mahar politik yang tidak pernah terselesaikan dan kandas di tengah jalan.
"Kewenangan yang diberikan oleh UU tidak sampai untuk mengungkap itu oleh Bawaslu. Kita harap ada penambahan kewenangan untuk Bawaslu," tambahnya.
Selain itu, Direktur LBH SIKAP Balikpapan ini juga menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan, terutama oleh petahana. Apalagi saat ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim diduduki oleh petahana, yang berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
“Aparatur Sipil Negara (ASN) mudah dipolitisasi dalam Pilkada,” ujarnya.
Ia menceritakan bahwa Bawaslu RI pernah merekomendasikan diskualifikasi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) pada Pilkada 2020, karena sebelum enam bulan penetapan, bupati tersebut membagikan laptop yang dinilai sebagai bentuk kampanye.
"Dua hal itu nyaris tidak bisa ditangani Bawaslu," pungkas Ebin.
(Sf/Rs)