Cari disini...
Seputatfakta.com -
Opini
Oleh: Maruly Z
Direktur Media Online Seputarfakta.com
DUA hari lalu, saya membaca berita yang melintas di beranda media sosial yang menyebut sebuah negara di belahan benua Eropa, yakni Swedia menjual tanah dengan harga sangat murah yakni seharga satu krona atau jika dirupiahkan Rp1.548 per meter persegi. Lokasinya berada di Goten, salah satu kota di negara tersebut yang kini dihuni hanya sekitar lima ribu penduduk saja.
Sebagai perbandingan, Kota Samarinda yang merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), jumlah penduduknya mencapai 856.360 jiwa (tahun 2023), sedangkan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yang berada jauh di pedalaman, jumlah penduduknya 35.010 jiwa (tahun 2020).
Artinya, jumlah penduduk di Kota Goten, Swedia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 2 daerah di Kaltim tersebut. Adapun alasan pemerintah kota Goten menjual tanah murah tak lain untuk meningkatkan populasi khususnya di kota tersebut yang terus mengalami penurunan. Tawaran penjualan tanah di kota yang memiliki destinasi wisata terkenal berupa bangunan bersejarah Martorpsfallet dan Gereja Romawi Husaby Kyrka itu dibuka pula untuk warga negara asing, termasuk Indonesia. Berminat?
Lain di Swedia lain pula di Korea Selatan (Korsel). Di Negeri ginseng itu, pemerintah setempat menggenjot angka kelahiran dengan memberikan insentif agar warganya mau melahirkan dan membesarkan anak. Pasalnya, saat ini banyak warga Korsel yang enggan menikah dan memiliki anak.
Bahkan, sebuah kantor distrik di Busan dilaporkan akan memberikan satu juta won atau sekitar Rp11,8 juta bagi warga yang memulai hubungan romantis melalui acara perjodohan yang diselenggarakan. Acara perjodohan ini tentu ditujukan bagi masyarakat muda usia 23-43 tahun.
Tak hanya itu, jika mereka mengadakan “sang-gyeon-rye” atau pertemuan anggota keluarga yang biasanya dilakukan sebelum pernikahan, pasangan tersebut akan ditawari tambahan 2 juta won atau sekitar Rp23,6 juta. Edannya lagi. Jika mereka menikah, bonus besar lainnya menanti sebesar 20 juta won atau sekitar Rp236,19 juta, termasuk dukungan perumahan selama lima tahun.
Merosotnya jumlah penduduk juga terjadi di Jepang. Berdasarkan laporan kantor berita Nikkei Asia. Total penduduk Jepang pada 1 Januari 2023 tercatat hanya 124,77 juta jiwa. Angka ini turun 0,43 persen dari tahun sebelumnya atau sekitar 125,308 juta jiwa.
Dari jumlah itu, 36,21 juta orang merupakan penduduk lanjut usia berumur 65 tahun ke atas. Sementara 14,45 penduduk lainnya adalah anak-anak usia 0-4 tahun. Kekurangan penduduk ini menyebabkan Jepang menghadapi masalah di bidang property. Jutaan rumah di negara tersebut dibiarkan kosong terbengkalai tak dihuni. Bahkan, kondisi yang sama juga terjadi di Negara China dan Amerika Serikat.
Lantas bagaimana dengan di Indonesia?
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap rata-rata laju pertumbuhan penduduk dalam lima tahun terakhir (2020-2024) hanya 1,11 persen. Angka ini merupakan rekor terendah sepanjang masa sejak terhitung dari tahun 1971 atau lima puluh tahun terakhir.
Kekurangan jumlah penduduk di berbagai Negara ini memberikan gambaran bahwa lambat laun umat manusia di muka bumi akan punah dengan sendirinya. Faktor biaya hidup yang tinggi, mengejar karir demi nama besar, serta sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang sesuai ikut memberikan pengaruh merosotnya jumlah penduduk.
Kini, tak sedikit lajang mendahulukan karir ketimbang memikirkan pacaran atau ngedate malam Minggu, apalagi harus memikirkan pernikahan. Alasannya, ingin menjamin dan memenuhi biaya hidup sendiri di hari kelak. Pergi pagi, pulang petang sudah menjadi biasa di kota-kota besar.
Selain itu, faktor biaya hidup tinggi juga menjadi alasan sebuah rumah tangga enggan memiliki banyak anak. Selain memikirkan jaminan kesehatan untuk si buah hati, nyatanya biaya pendidikan di Indonesia juga cukup tinggi.
Sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini, tak jarang kaum perempuan juga ikut mengadu nasib mencari rezeki membantu keuangan keluarga. Mulai dari memimpin sebuah departemen pemerintahan dan pimpinan perusahaan hingga menjadi loper koran dan ojek online pun kaum Hawa ikut terlibat di dalamnya.
Mirip penggalan lirik lagu si Raja Dangdut Rhoma Irama berjudul ‘Emansipasi Wanita’ berikut;
“Wanita sekarang dalam perjuangan
Menyaingi Pria di segala bidang
Di rumah, di kantor
Bahkan sampai ke jalan pemerintahan”
Kalau sudah begini, pemerintah ditutut harus mencari langkah jitu agar jumlah penduduk tidak terus berkurang seperti yang dialami negara-negara besar lainnya. Kalau sudah begini, masihkah program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan pemerintah Indonesia sejak 1970-an untuk membatasi jumlah kelahiran itu relevan atau ada program yang lebih tepat lainnya? Kita tunggu saja.
Tim Editorial
Cari disini...
Seputatfakta.com -
Opini
Oleh: Maruly Z
Direktur Media Online Seputarfakta.com
DUA hari lalu, saya membaca berita yang melintas di beranda media sosial yang menyebut sebuah negara di belahan benua Eropa, yakni Swedia menjual tanah dengan harga sangat murah yakni seharga satu krona atau jika dirupiahkan Rp1.548 per meter persegi. Lokasinya berada di Goten, salah satu kota di negara tersebut yang kini dihuni hanya sekitar lima ribu penduduk saja.
Sebagai perbandingan, Kota Samarinda yang merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), jumlah penduduknya mencapai 856.360 jiwa (tahun 2023), sedangkan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yang berada jauh di pedalaman, jumlah penduduknya 35.010 jiwa (tahun 2020).
Artinya, jumlah penduduk di Kota Goten, Swedia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 2 daerah di Kaltim tersebut. Adapun alasan pemerintah kota Goten menjual tanah murah tak lain untuk meningkatkan populasi khususnya di kota tersebut yang terus mengalami penurunan. Tawaran penjualan tanah di kota yang memiliki destinasi wisata terkenal berupa bangunan bersejarah Martorpsfallet dan Gereja Romawi Husaby Kyrka itu dibuka pula untuk warga negara asing, termasuk Indonesia. Berminat?
Lain di Swedia lain pula di Korea Selatan (Korsel). Di Negeri ginseng itu, pemerintah setempat menggenjot angka kelahiran dengan memberikan insentif agar warganya mau melahirkan dan membesarkan anak. Pasalnya, saat ini banyak warga Korsel yang enggan menikah dan memiliki anak.
Bahkan, sebuah kantor distrik di Busan dilaporkan akan memberikan satu juta won atau sekitar Rp11,8 juta bagi warga yang memulai hubungan romantis melalui acara perjodohan yang diselenggarakan. Acara perjodohan ini tentu ditujukan bagi masyarakat muda usia 23-43 tahun.
Tak hanya itu, jika mereka mengadakan “sang-gyeon-rye” atau pertemuan anggota keluarga yang biasanya dilakukan sebelum pernikahan, pasangan tersebut akan ditawari tambahan 2 juta won atau sekitar Rp23,6 juta. Edannya lagi. Jika mereka menikah, bonus besar lainnya menanti sebesar 20 juta won atau sekitar Rp236,19 juta, termasuk dukungan perumahan selama lima tahun.
Merosotnya jumlah penduduk juga terjadi di Jepang. Berdasarkan laporan kantor berita Nikkei Asia. Total penduduk Jepang pada 1 Januari 2023 tercatat hanya 124,77 juta jiwa. Angka ini turun 0,43 persen dari tahun sebelumnya atau sekitar 125,308 juta jiwa.
Dari jumlah itu, 36,21 juta orang merupakan penduduk lanjut usia berumur 65 tahun ke atas. Sementara 14,45 penduduk lainnya adalah anak-anak usia 0-4 tahun. Kekurangan penduduk ini menyebabkan Jepang menghadapi masalah di bidang property. Jutaan rumah di negara tersebut dibiarkan kosong terbengkalai tak dihuni. Bahkan, kondisi yang sama juga terjadi di Negara China dan Amerika Serikat.
Lantas bagaimana dengan di Indonesia?
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap rata-rata laju pertumbuhan penduduk dalam lima tahun terakhir (2020-2024) hanya 1,11 persen. Angka ini merupakan rekor terendah sepanjang masa sejak terhitung dari tahun 1971 atau lima puluh tahun terakhir.
Kekurangan jumlah penduduk di berbagai Negara ini memberikan gambaran bahwa lambat laun umat manusia di muka bumi akan punah dengan sendirinya. Faktor biaya hidup yang tinggi, mengejar karir demi nama besar, serta sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang sesuai ikut memberikan pengaruh merosotnya jumlah penduduk.
Kini, tak sedikit lajang mendahulukan karir ketimbang memikirkan pacaran atau ngedate malam Minggu, apalagi harus memikirkan pernikahan. Alasannya, ingin menjamin dan memenuhi biaya hidup sendiri di hari kelak. Pergi pagi, pulang petang sudah menjadi biasa di kota-kota besar.
Selain itu, faktor biaya hidup tinggi juga menjadi alasan sebuah rumah tangga enggan memiliki banyak anak. Selain memikirkan jaminan kesehatan untuk si buah hati, nyatanya biaya pendidikan di Indonesia juga cukup tinggi.
Sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini, tak jarang kaum perempuan juga ikut mengadu nasib mencari rezeki membantu keuangan keluarga. Mulai dari memimpin sebuah departemen pemerintahan dan pimpinan perusahaan hingga menjadi loper koran dan ojek online pun kaum Hawa ikut terlibat di dalamnya.
Mirip penggalan lirik lagu si Raja Dangdut Rhoma Irama berjudul ‘Emansipasi Wanita’ berikut;
“Wanita sekarang dalam perjuangan
Menyaingi Pria di segala bidang
Di rumah, di kantor
Bahkan sampai ke jalan pemerintahan”
Kalau sudah begini, pemerintah ditutut harus mencari langkah jitu agar jumlah penduduk tidak terus berkurang seperti yang dialami negara-negara besar lainnya. Kalau sudah begini, masihkah program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan pemerintah Indonesia sejak 1970-an untuk membatasi jumlah kelahiran itu relevan atau ada program yang lebih tepat lainnya? Kita tunggu saja.