Cari disini...
Seputarfakta.com -
Nasional
Langit Indonesia ternyata mulai dipenuhi gas metana. (Ilustrasi langit, Seputar Fakta).
Samarinda - Di tengah cuaca lokal yang semakin sulit diprediksi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis data jangka panjang yang mengkhawatirkan. Hasil pemantauan selama lebih dari satu dekade menunjukkan adanya tren kenaikan konsentrasi gas metana (CH4), salah satu gas rumah kaca utama, di atmosfer Indonesia.
Temuan ini merupakan peringatan senyap namun serius dari Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) BMKG di Bukit Kototabang, Sumatra Barat. Data tersebut menjadi bukti ilmiah bahwa ancaman perubahan iklim di tingkat nasional bukanlah isapan jempol dan berpotensi memengaruhi pola cuaca di berbagai daerah, termasuk Samarinda.
Data yang diolah BMKG menunjukkan tren peningkatan konsentrasi CH4 yang konsisten sejak Januari 2014 hingga pengamatan terakhir pada Agustus 2025. Meskipun data bulanan menunjukkan fluktuasi yang signifikan—terkadang naik tajam dan turun drastis—garis tren secara keseluruhan jelas menanjak naik.
Pada awal 2014, konsentrasi metana berada di kisaran 1850-1860 parts per billion (ppb). Namun, dalam perjalanannya, angka tersebut terus merangkak naik dan beberapa kali menembus level psikologis 2000 ppb, bahkan mencapai puncaknya di atas 2010 ppb pada periode tertentu di tahun 2025. Peningkatan ini mengindikasikan semakin banyaknya gas metana yang terperangkap di atmosfer Indonesia.
Pengukuran ini telah dilakukan BMKG secara rutin sejak tahun 2004 di stasiun GAW Bukit Kototabang, sebuah lokasi strategis di ketinggian 864,5 meter di atas permukaan laut. Untuk memastikan akurasi, BMKG menggunakan dua metode, yakni peralatan otomatis Picarro dengan teknologi Cavity Ring-Down Spectroscopy (CRDS) dan metode manual Air Kit Flask Sampling yang sampelnya dianalisis di laboratorium NOAA, Amerika Serikat.
Meskipun data kenaikan gas rumah kaca ini berskala nasional, dampaknya dapat dirasakan hingga ke tingkat lokal. Sebagai contoh, prakiraan cuaca untuk Kota Samarinda sepekan ke depan menunjukkan dinamika yang sangat bervariasi.
Pada hari ini, Minggu (19/10/25), cuaca di sebagian besar kecamatan diprediksi berupa "Udara Kabur". Namun, kondisi akan cepat berubah menjadi berawan pada Senin (20/10), lalu hujan ringan pada Selasa (21/10), sebelum kembali berawan dan hujan di hari-hari berikutnya. Pola cuaca yang tidak menentu dan cepat berubah ini konsisten dengan gejala perubahan iklim, di mana peningkatan gas rumah kaca dapat memicu anomali cuaca.
Peringatan dari Bukit Kototabang ini menjadi pengingat bahwa apa yang terjadi di atmosfer dalam skala besar pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan sehari-hari, mulai dari teriknya matahari hingga derasnya hujan yang turun di berbagai kota di Indonesia.
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com -
Nasional
Langit Indonesia ternyata mulai dipenuhi gas metana. (Ilustrasi langit, Seputar Fakta).
Samarinda - Di tengah cuaca lokal yang semakin sulit diprediksi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis data jangka panjang yang mengkhawatirkan. Hasil pemantauan selama lebih dari satu dekade menunjukkan adanya tren kenaikan konsentrasi gas metana (CH4), salah satu gas rumah kaca utama, di atmosfer Indonesia.
Temuan ini merupakan peringatan senyap namun serius dari Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) BMKG di Bukit Kototabang, Sumatra Barat. Data tersebut menjadi bukti ilmiah bahwa ancaman perubahan iklim di tingkat nasional bukanlah isapan jempol dan berpotensi memengaruhi pola cuaca di berbagai daerah, termasuk Samarinda.
Data yang diolah BMKG menunjukkan tren peningkatan konsentrasi CH4 yang konsisten sejak Januari 2014 hingga pengamatan terakhir pada Agustus 2025. Meskipun data bulanan menunjukkan fluktuasi yang signifikan—terkadang naik tajam dan turun drastis—garis tren secara keseluruhan jelas menanjak naik.
Pada awal 2014, konsentrasi metana berada di kisaran 1850-1860 parts per billion (ppb). Namun, dalam perjalanannya, angka tersebut terus merangkak naik dan beberapa kali menembus level psikologis 2000 ppb, bahkan mencapai puncaknya di atas 2010 ppb pada periode tertentu di tahun 2025. Peningkatan ini mengindikasikan semakin banyaknya gas metana yang terperangkap di atmosfer Indonesia.
Pengukuran ini telah dilakukan BMKG secara rutin sejak tahun 2004 di stasiun GAW Bukit Kototabang, sebuah lokasi strategis di ketinggian 864,5 meter di atas permukaan laut. Untuk memastikan akurasi, BMKG menggunakan dua metode, yakni peralatan otomatis Picarro dengan teknologi Cavity Ring-Down Spectroscopy (CRDS) dan metode manual Air Kit Flask Sampling yang sampelnya dianalisis di laboratorium NOAA, Amerika Serikat.
Meskipun data kenaikan gas rumah kaca ini berskala nasional, dampaknya dapat dirasakan hingga ke tingkat lokal. Sebagai contoh, prakiraan cuaca untuk Kota Samarinda sepekan ke depan menunjukkan dinamika yang sangat bervariasi.
Pada hari ini, Minggu (19/10/25), cuaca di sebagian besar kecamatan diprediksi berupa "Udara Kabur". Namun, kondisi akan cepat berubah menjadi berawan pada Senin (20/10), lalu hujan ringan pada Selasa (21/10), sebelum kembali berawan dan hujan di hari-hari berikutnya. Pola cuaca yang tidak menentu dan cepat berubah ini konsisten dengan gejala perubahan iklim, di mana peningkatan gas rumah kaca dapat memicu anomali cuaca.
Peringatan dari Bukit Kototabang ini menjadi pengingat bahwa apa yang terjadi di atmosfer dalam skala besar pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan sehari-hari, mulai dari teriknya matahari hingga derasnya hujan yang turun di berbagai kota di Indonesia.
(Sf/Rs)