Mengenal Sani Bin Husain, Anak Petani yang Kini jadi Anggota Dewan

    Seputarfakta.com - Tria -

    Figur

    08 April 2024 04:00 WIB

    Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sani Bin Husain. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)

    Matahari masih sembunyi ketika seorang remaja mengayuh sepeda dengan muatan penuh sayur. Jalanan Kota Bontang yang berbukit-bukit tak membikin remaja itu gentar. Dipacu terus sepeda itu hingga sampailah di tujuan; Pasar Taman Rawa Indah.

    Untuk ukuran remaja seusianya, aktivitas angkut sayur seperti ini sebenarnya bukan hal wajar. Lantaran, pada waktu-waktu tersebut seharusnya ia tengah asyik bermain atau belajar menuntut ilmu. Tapi, remaja bernama Sani mengaku sama sekali tak keberatan. Melakukan aktivitas mengangkut sayur dari kebun menuju pasar, dilakukan semata demi baktinya kepada orang tua. 

    Begitulah hidup. Asal dijalani dengan tulus, jalannya tak pernah bisa diterka. Siapa sangka, remaja itu beberapa dekade kemudian menjelma menjadi sosok kritis dan terpelajar, menyandang predikat wakil rakyat, di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda. 

    Ya, remaja itu adalah Sani Bin Husein. Legislator yang duduk di Komisi IV DPRD Samarinda, bahkan menjabat sebagai Wakil Ketua. 

    “Bapak saya dari dulu itu petani, ibu saya jualan sayur. Saya kecil itu tidak pernah menikmati namanya listrik,” kenang Sani, saat menceritakan masa kecilnya kepada Seputar Fakta. 

    Lahir di Kota Bontang, pada 5 Agustus 1983, kehidupan Sani kecil dipenuhi kesempitan. Ia lahir dari keluarga yang terbilang kurang mampu secara ekonomi membuat ia tak gentar menghadapi segala rintangan kehidupan. 

    Kedua kakinya ditempa sedemikian rupa, kala harus mengayuh sepeda dengan muatan hasil kebun mulai dari singkong, gambas, pisang, hingga sayur, nyatanya membuat pijakan sosok yang berhikmat di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjadi demikian kuat. Ia tumbuh menjadi sosok yang tegas. 

    “Makanya saya nyebutnya sebagai orang pasar. Omongan saya ini nyablak, kalau saya tidak suka, ya tidak. Kalau saya suka, ya saya bilang suka,” tegasnya. 

    Ia bercerita, mulanya sang bapak tak setuju bila ia meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi karena alasan ekonomi yang memprihatinkan. Tapi ia bertekad, bisa dan mampu untuk meneruskan pendidikannya, hingga diberi izin untuk kuliah. 

    “Sebelum berangkat bapak saya bilang, kamu itu anak petani, ibumu jual sayur, jangan banyak gaya di Samarinda, yang betul-betul sekolah,” bebernya. 

    Akhirnya Sani dengan keinginan kuat mewujudkan cita-citanya sebagai pengajar, ia menuntut ilmu di Universitas Mulawarman (Unmul) hingga menyelesaikan studi S3 -nya. 

    Di masa-masa menuntut ilmunya itu, Sani hidup di mana saja. Pernah menjadi marbot masjid. Menjaga masjid, penyeru azan, menjadi imam. 

    Rasa haus dan lapar sudah jadi hal yang sering ia rasakan hingga berhari-hari. Mendapati acara di masjid seperti pengajian, jadi momentum perbaikan gizi yang tak terlupakan baginya. 

    “Hidup saya prihatin. Zaman kuliah itu kalau lapar biasa. Dua sampai tiga hari minum air putih aja, alhamdulillah masih hidup dan bisa sampai S3,” tuturnya. 

    Semangat belajarnya tidak pernah padam. Meski terbiasa berjuang dalam keadaan sulit, Sani berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat S3, bahkan menjadi lulusan terbaik.

    “Saya mengajar di IAIN, di Unmul, di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Azhar, pernah juga mengajar Ilmu Sosial Dasar di D3 Keperawatan, saya senang mengajar, dan itu cita-cita saya dari dulu,” terangnya. 

    Namun sayang, kegiatan yang disenanginya itu harus terhenti sementara ia menjabat sebagai anggota dewan. Meski bisa tetap mengajar, menurutnya itu bisa melanggar etika. Sebab menjadi anggota dewan memakan anggaran negara, jika ia tetap mengajar, maka ia akan memakan anggaran negara dua kali. 

    Kini, pria yang juga menjadi Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu hanya berfokus pada tugasnya menjadi anggota dewan dan menjadi bapak yang baik bagi kedua putrinya. 

    “Saya tidak mau jadi apa-apa selain jadi bapak yang baik. Termasuk anggota dewan itu bukan cita-cita saya,” katanya. 

    Kehidupan yang penuh dengan tantangan telah membentuknya menjadi sosok yang tegar dan pantang menyerah. Pria berdarah Sulawesi itu percaya bahwa takdir adalah yang terbaik, dan itu yang memandu langkah-langkahnya.

    Meskipun pernah berjuang dengan keterbatasan ekonomi yang serius dan berbagai kesulitan dalam mengenyam pendidikan, Sani tak pernah menyerah. Ia memilih untuk tetap melangkah maju dan mengejar impian

    “Moto hidup saya ada tiga, jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah,” selorohnya. 

    Jika ia menyerah, maka ia tidak akan menamatkan pendidikannya, tidak akan menyandang gelar S3 dengan lulusan terbaik, juga tidak akan menjadi anggota dewan. 

    (Sf/Rs)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Mengenal Sani Bin Husain, Anak Petani yang Kini jadi Anggota Dewan

    Seputarfakta.com - Tria -

    Figur

    08 April 2024 04:00 WIB

    Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sani Bin Husain. (Foto: Tria/Seputarfakta.com)

    Matahari masih sembunyi ketika seorang remaja mengayuh sepeda dengan muatan penuh sayur. Jalanan Kota Bontang yang berbukit-bukit tak membikin remaja itu gentar. Dipacu terus sepeda itu hingga sampailah di tujuan; Pasar Taman Rawa Indah.

    Untuk ukuran remaja seusianya, aktivitas angkut sayur seperti ini sebenarnya bukan hal wajar. Lantaran, pada waktu-waktu tersebut seharusnya ia tengah asyik bermain atau belajar menuntut ilmu. Tapi, remaja bernama Sani mengaku sama sekali tak keberatan. Melakukan aktivitas mengangkut sayur dari kebun menuju pasar, dilakukan semata demi baktinya kepada orang tua. 

    Begitulah hidup. Asal dijalani dengan tulus, jalannya tak pernah bisa diterka. Siapa sangka, remaja itu beberapa dekade kemudian menjelma menjadi sosok kritis dan terpelajar, menyandang predikat wakil rakyat, di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda. 

    Ya, remaja itu adalah Sani Bin Husein. Legislator yang duduk di Komisi IV DPRD Samarinda, bahkan menjabat sebagai Wakil Ketua. 

    “Bapak saya dari dulu itu petani, ibu saya jualan sayur. Saya kecil itu tidak pernah menikmati namanya listrik,” kenang Sani, saat menceritakan masa kecilnya kepada Seputar Fakta. 

    Lahir di Kota Bontang, pada 5 Agustus 1983, kehidupan Sani kecil dipenuhi kesempitan. Ia lahir dari keluarga yang terbilang kurang mampu secara ekonomi membuat ia tak gentar menghadapi segala rintangan kehidupan. 

    Kedua kakinya ditempa sedemikian rupa, kala harus mengayuh sepeda dengan muatan hasil kebun mulai dari singkong, gambas, pisang, hingga sayur, nyatanya membuat pijakan sosok yang berhikmat di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjadi demikian kuat. Ia tumbuh menjadi sosok yang tegas. 

    “Makanya saya nyebutnya sebagai orang pasar. Omongan saya ini nyablak, kalau saya tidak suka, ya tidak. Kalau saya suka, ya saya bilang suka,” tegasnya. 

    Ia bercerita, mulanya sang bapak tak setuju bila ia meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi karena alasan ekonomi yang memprihatinkan. Tapi ia bertekad, bisa dan mampu untuk meneruskan pendidikannya, hingga diberi izin untuk kuliah. 

    “Sebelum berangkat bapak saya bilang, kamu itu anak petani, ibumu jual sayur, jangan banyak gaya di Samarinda, yang betul-betul sekolah,” bebernya. 

    Akhirnya Sani dengan keinginan kuat mewujudkan cita-citanya sebagai pengajar, ia menuntut ilmu di Universitas Mulawarman (Unmul) hingga menyelesaikan studi S3 -nya. 

    Di masa-masa menuntut ilmunya itu, Sani hidup di mana saja. Pernah menjadi marbot masjid. Menjaga masjid, penyeru azan, menjadi imam. 

    Rasa haus dan lapar sudah jadi hal yang sering ia rasakan hingga berhari-hari. Mendapati acara di masjid seperti pengajian, jadi momentum perbaikan gizi yang tak terlupakan baginya. 

    “Hidup saya prihatin. Zaman kuliah itu kalau lapar biasa. Dua sampai tiga hari minum air putih aja, alhamdulillah masih hidup dan bisa sampai S3,” tuturnya. 

    Semangat belajarnya tidak pernah padam. Meski terbiasa berjuang dalam keadaan sulit, Sani berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat S3, bahkan menjadi lulusan terbaik.

    “Saya mengajar di IAIN, di Unmul, di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Azhar, pernah juga mengajar Ilmu Sosial Dasar di D3 Keperawatan, saya senang mengajar, dan itu cita-cita saya dari dulu,” terangnya. 

    Namun sayang, kegiatan yang disenanginya itu harus terhenti sementara ia menjabat sebagai anggota dewan. Meski bisa tetap mengajar, menurutnya itu bisa melanggar etika. Sebab menjadi anggota dewan memakan anggaran negara, jika ia tetap mengajar, maka ia akan memakan anggaran negara dua kali. 

    Kini, pria yang juga menjadi Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu hanya berfokus pada tugasnya menjadi anggota dewan dan menjadi bapak yang baik bagi kedua putrinya. 

    “Saya tidak mau jadi apa-apa selain jadi bapak yang baik. Termasuk anggota dewan itu bukan cita-cita saya,” katanya. 

    Kehidupan yang penuh dengan tantangan telah membentuknya menjadi sosok yang tegar dan pantang menyerah. Pria berdarah Sulawesi itu percaya bahwa takdir adalah yang terbaik, dan itu yang memandu langkah-langkahnya.

    Meskipun pernah berjuang dengan keterbatasan ekonomi yang serius dan berbagai kesulitan dalam mengenyam pendidikan, Sani tak pernah menyerah. Ia memilih untuk tetap melangkah maju dan mengejar impian

    “Moto hidup saya ada tiga, jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyerah,” selorohnya. 

    Jika ia menyerah, maka ia tidak akan menamatkan pendidikannya, tidak akan menyandang gelar S3 dengan lulusan terbaik, juga tidak akan menjadi anggota dewan. 

    (Sf/Rs)