Meiliyana, Sosok Penggerak Kekuatan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome

    Seputarfakta.com - Maulana -

    Figur

    11 Mei 2024 08:16 WIB

    Penggerak POTADS Kaltim, Meiliyana bersama sang anak keempatnya, Alaren. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)

    WAJAH aneh menyerupai orang mongoloid, perilaku tidak normal seperti orang autis dan lemahnya berpikir seperti orang tak berguna.

    Itulah kata-kata yang tergambar dibenak orang awam terhadap anak dengan penyakit Down Syndrome.

    Banyak orang tua anak Down Syndrome yang termakan mitos itu dan abai terhadap perkembangannya, bahkan terkesan menelantarkan anaknya setelah mendapat pengumuman kelahiran dari sang dokter.

    Berbeda dengan sosok ibu kelahiran Surabaya ini, namanya Meiliyana yang akrab dipanggil Mei, hanya bisa menelan kata-kata cemooh itu.

    Bahkan, ia sudah mendengar selama 10 tahun belakangan ini, ketika mulai menggerakkan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome atau yang lebih dikenal dengan POTADS di Kalimantan Timur (Kaltim)..

    Terbentuknya POTADS ditandai dengan kelahiran buah hatinya yang diberi nama Alaren pada 20 November 2013 silam. 

    Dikaruniai sosok Alaren membuat ia semakin tegar, terlebih kelahiran Alaren juga tidak membawa kekhawatiran baginya.

    Sebab, ia seringkali melihat ABK direhab medik kala bekerja sebagai Detailer Farmasi yang memasarkan obatnya di klinik dan lainnya.

    Kabar dari dokter, dengan diagnosis Down Syndrome membuat Mei langsung mencari tahu lebih detil bagaimana cara merawatnya.

    Melalui ponsel genggamnya, ia juga mencari satu komunitas khusus bagi orang tua dengan penyakit Down Syndrome tersebut.

    Beberapa hari Mei terus mencari komunitas itu hingga akhitnya menemukan grup di Faceboke yang bernama POTADS Indonesia.

    Disinilah cikal bakal ia akan mendirikan POTADS Kaltim. 

    Dirinya tak bisa seorang diri, Mei kemudian mencari teman dalam grup tersebut dari daerah yang sama.  "Saya cari dan ketemu, tapi tidak di Kaltim. Saya berpikir pasti ada teman senasib dari Kaltim dan mulai lah menanyakan itu dalam grup, ternyata ada dua orang lainnya," ungkap Mei.

    Dua orang yang disebut Mei ini berasal dari Kutai Kartanegara dan Balikpapan.

    Ketiganya berkolaborasi dengan tujuan dan cita-cita yang sama untuk merangkul semua orang tua anak dengan Down Syndrome agar terus berusaha dan semangat membantu tumbuh kembang sang anak secara maksimal.

    Dalam pengembangan komunitas itu, Mei menunjukkan loyalitas dengan menyebar selebaran ajakan bergabung ke seluruh Puskesmas di Samarinda, begitupula teman seperjuangan menyebar di daerahnya masing-masing.

    "Dengan harapan, setelah adanya kelahiran bayi dengan Down Syndrome, orang tua dapat bergabung untuk dirangkul dan ajak pada kegiatan-kegiatan," tuturnya.

    Sembari mengembangkan komunitasnya, Mei juga terus merawat anak keempatnya ini dengan melakukan fisioterapi di rumah sakit.

    Kala itu, ia mengeluarkan biaya yang cukup banyak dan belum adanya BPJS Kesehatan.

    Satu minggu terapi, ia mengeluarkan sebanyak Rp600 ribu dengan rincian satu kali terapi tiga pengembangan, yakni Fisioterapi, Okupasi Terapi dan Terapi Wicara, masing-masingnya Rp100 ribu.

    Banyaknya biaya yang dikeluarkan selama proses tumbuh kembang, anak pertama Mei bernama Novi akhirnya termotivasi untuk dapat menerapi adiknya.

    Novi waktu itu masih SMA, bercita-cita kuliah dengan jurusan Terapi Wicara di Universitas ternama di Solo, yakni Poltekkes Kemenkes Surakarta.

    "Novi keterima dan diikuti juga adiknya April tahun berikutnya dengan motivasi yang sama," kata Mei. Alhasil, kedua kakaknya yang sudah selesai menuntut sekolah di Surakarta, sekarang sembari bekerja juga merawat adiknya," bebernya.

    Perjalanan Mei di POTADS sudah sembilan tahun lamanya dan didapuk sebagai sekretaris.

    Kini, ia telah selesai menjabat, tetapi tetap menunjukan semangat juang untuk terus mengawal kegiatan POTADS.

    Meski mentalnya sering jatuh karena sedikitnya jumlah partisipan pada kegiatan, terasa memudarkan semangat orang tua.

    "Tapi terus dengan pendekatan, apapun kita coba sampai saat ini dan selalu menyemangati para orang tua agar terus memiliki komitmen untuk merawat," tuturnya.

    Mei mengharapkan bantuan pemerintah karena jumlah anggota di POTADS sendiri sudah mencapai 300-an orang.

    "Perhatian pemerintah untuk menyediakan wadah khusus kami sangat menerima, support dalam setiap kegiatan kita itu menjadi pemicu semangat kita, agar para orang tua juga semangat," harapnya yang penuh semangat.

    Dari kisahnya itu, ia meminta agar semua orang tua anak dengan Down Syndrome agar selalu kuat.

    Apabila perlu bantuan, ia meminta untuk saling komunikasi karena menganggap anak adalah titipan tuhan dan bisa menjadi ladang amal dalam tolong menolong.

    (Sf/By)

    Tim Editorial

    Connect With Us

    Copyright @ 2023 seputarfakta.com.
    All right reserved

    Kategori

    Informasi

    Meiliyana, Sosok Penggerak Kekuatan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome

    Seputarfakta.com - Maulana -

    Figur

    11 Mei 2024 08:16 WIB

    Penggerak POTADS Kaltim, Meiliyana bersama sang anak keempatnya, Alaren. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)

    WAJAH aneh menyerupai orang mongoloid, perilaku tidak normal seperti orang autis dan lemahnya berpikir seperti orang tak berguna.

    Itulah kata-kata yang tergambar dibenak orang awam terhadap anak dengan penyakit Down Syndrome.

    Banyak orang tua anak Down Syndrome yang termakan mitos itu dan abai terhadap perkembangannya, bahkan terkesan menelantarkan anaknya setelah mendapat pengumuman kelahiran dari sang dokter.

    Berbeda dengan sosok ibu kelahiran Surabaya ini, namanya Meiliyana yang akrab dipanggil Mei, hanya bisa menelan kata-kata cemooh itu.

    Bahkan, ia sudah mendengar selama 10 tahun belakangan ini, ketika mulai menggerakkan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome atau yang lebih dikenal dengan POTADS di Kalimantan Timur (Kaltim)..

    Terbentuknya POTADS ditandai dengan kelahiran buah hatinya yang diberi nama Alaren pada 20 November 2013 silam. 

    Dikaruniai sosok Alaren membuat ia semakin tegar, terlebih kelahiran Alaren juga tidak membawa kekhawatiran baginya.

    Sebab, ia seringkali melihat ABK direhab medik kala bekerja sebagai Detailer Farmasi yang memasarkan obatnya di klinik dan lainnya.

    Kabar dari dokter, dengan diagnosis Down Syndrome membuat Mei langsung mencari tahu lebih detil bagaimana cara merawatnya.

    Melalui ponsel genggamnya, ia juga mencari satu komunitas khusus bagi orang tua dengan penyakit Down Syndrome tersebut.

    Beberapa hari Mei terus mencari komunitas itu hingga akhitnya menemukan grup di Faceboke yang bernama POTADS Indonesia.

    Disinilah cikal bakal ia akan mendirikan POTADS Kaltim. 

    Dirinya tak bisa seorang diri, Mei kemudian mencari teman dalam grup tersebut dari daerah yang sama.  "Saya cari dan ketemu, tapi tidak di Kaltim. Saya berpikir pasti ada teman senasib dari Kaltim dan mulai lah menanyakan itu dalam grup, ternyata ada dua orang lainnya," ungkap Mei.

    Dua orang yang disebut Mei ini berasal dari Kutai Kartanegara dan Balikpapan.

    Ketiganya berkolaborasi dengan tujuan dan cita-cita yang sama untuk merangkul semua orang tua anak dengan Down Syndrome agar terus berusaha dan semangat membantu tumbuh kembang sang anak secara maksimal.

    Dalam pengembangan komunitas itu, Mei menunjukkan loyalitas dengan menyebar selebaran ajakan bergabung ke seluruh Puskesmas di Samarinda, begitupula teman seperjuangan menyebar di daerahnya masing-masing.

    "Dengan harapan, setelah adanya kelahiran bayi dengan Down Syndrome, orang tua dapat bergabung untuk dirangkul dan ajak pada kegiatan-kegiatan," tuturnya.

    Sembari mengembangkan komunitasnya, Mei juga terus merawat anak keempatnya ini dengan melakukan fisioterapi di rumah sakit.

    Kala itu, ia mengeluarkan biaya yang cukup banyak dan belum adanya BPJS Kesehatan.

    Satu minggu terapi, ia mengeluarkan sebanyak Rp600 ribu dengan rincian satu kali terapi tiga pengembangan, yakni Fisioterapi, Okupasi Terapi dan Terapi Wicara, masing-masingnya Rp100 ribu.

    Banyaknya biaya yang dikeluarkan selama proses tumbuh kembang, anak pertama Mei bernama Novi akhirnya termotivasi untuk dapat menerapi adiknya.

    Novi waktu itu masih SMA, bercita-cita kuliah dengan jurusan Terapi Wicara di Universitas ternama di Solo, yakni Poltekkes Kemenkes Surakarta.

    "Novi keterima dan diikuti juga adiknya April tahun berikutnya dengan motivasi yang sama," kata Mei. Alhasil, kedua kakaknya yang sudah selesai menuntut sekolah di Surakarta, sekarang sembari bekerja juga merawat adiknya," bebernya.

    Perjalanan Mei di POTADS sudah sembilan tahun lamanya dan didapuk sebagai sekretaris.

    Kini, ia telah selesai menjabat, tetapi tetap menunjukan semangat juang untuk terus mengawal kegiatan POTADS.

    Meski mentalnya sering jatuh karena sedikitnya jumlah partisipan pada kegiatan, terasa memudarkan semangat orang tua.

    "Tapi terus dengan pendekatan, apapun kita coba sampai saat ini dan selalu menyemangati para orang tua agar terus memiliki komitmen untuk merawat," tuturnya.

    Mei mengharapkan bantuan pemerintah karena jumlah anggota di POTADS sendiri sudah mencapai 300-an orang.

    "Perhatian pemerintah untuk menyediakan wadah khusus kami sangat menerima, support dalam setiap kegiatan kita itu menjadi pemicu semangat kita, agar para orang tua juga semangat," harapnya yang penuh semangat.

    Dari kisahnya itu, ia meminta agar semua orang tua anak dengan Down Syndrome agar selalu kuat.

    Apabila perlu bantuan, ia meminta untuk saling komunikasi karena menganggap anak adalah titipan tuhan dan bisa menjadi ladang amal dalam tolong menolong.

    (Sf/By)