Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
DPRD Provinsi Kalimantan Timur
Anggota DPRD Kaltim, Salehuddin. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 26 Juni 2025, secara resmi mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait tumpang tindih antara pemilu nasional dan daerah.
Putusan ini mewajibkan pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, dengan Pemilu Presiden, DPR, dan DPD dilakukan lebih dahulu, sementara Pemilu Gubernur, Bupati, Wali Kota, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lambat dua tahun enam bulan kemudian.
Keputusan ini secara langsung mengubah skema Pilkada Serentak yang selama ini dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu nasional. Konsekuensinya, pelaksanaan Pilkada berikutnya diperkirakan mundur ke tahun 2031, dua tahun setelah Pemilu Nasional 2029.
Putusan MK ini sontak memicu perdebatan serius di berbagai lini, termasuk di kalangan legislatif daerah. Salah satu yang menyoroti adalah Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin. Ia memandang putusan tersebut sebagai isyarat penting untuk menata ulang sistem demokrasi nasional secara lebih mendalam dan menyeluruh.
Menurut Salehuddin, implikasi dari amar putusan MK ini tak bisa dipandang sebatas aspek teknis Pemilu. Sebaliknya, keputusan ini menyentuh ranah fundamental yang menuntut penyesuaian menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Yang pasti memang justru yang menjadi pertanyaan itu pasca keluarnya putusan ini dengan beberapa konsekuensinya," ucap Salehuddin saat ditemui di Kantor DPRD Kaltim, beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, Fraksi Partai Golkar di DPRD Kaltim, tempat Salehuddin kini menjabat sebagai Sekretaris Komisi I, telah lebih dahulu melakukan kajian internal mengenai konsekuensi dari putusan tersebut.
Bahkan, menurut Salehuddin, Fraksi Golkar DPRD Kaltim telah melakukan komunikasi langsung dengan struktur partai di tingkat pusat.
"Kebetulan kami Fraksi Golkar DPRD Kaltim beberapa waktu lalu juga bertemu langsung dengan Sekjen DPP Golkar sekaligus dengan Fraksi Golkar DPR RI, diskusi juga dengan putusan MK tersebut," jelasnya.
Salehuddin menekankan pentingnya menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif tertinggi. Namun, ia juga menyoroti munculnya sejumlah pertanyaan krusial pasca-putusan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan kesinambungan sistem hukum dan arah politik nasional.
Ada dua aspek utama, menurut Salehuddin, yang perlu dicermati secara serius, yakni pertama, menyangkut kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.
Salehuddin mempertanyakan apakah publik masih percaya bahwa MK adalah salah satu instrumen tinggi negara yang memang berhak untuk mengadili permasalahan hukum.
Sifat final dan mengikat dari setiap keputusan MK, jelas Salehuddin, seharusnya mendorong seluruh elemen negara untuk patuh, namun juga harus diiringi dengan upaya untuk menjaga legitimasi lembaga tersebut.
"Yang pertama, apakah kita masih percaya bahwa MK itu adalah salah satu instrumen tinggi negara yang memang berhak untuk mengadili permasalahan hukum. Artinya, keputusan MK ini bersifat final dan mengikat," katanya.
Kedua, adalah konsekuensi regulatif dari putusan itu. Bila keputusan MK diterima sebagai norma baru, maka diperlukan langkah konkret berupa revisi terhadap sejumlah aturan.
Revisi ini bisa mencakup Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, bahkan berpotensi menyentuh Undang-Undang Dasar 1945.
Salehuddin menekankan bahwa selama ini tafsir atas keserentakan Pemilu telah mengakar dalam aturan konstitusional.
"Yang kedua, kalau kita percaya, otomatis apapun amar putusan yang disampaikan ini, mau tidak mau kita harus tindak lanjuti dalam bentuk mungkin perubahan revisi partai di Pemilu, termasuk UUD 1945, karena selama ini yang tidak menyetujui terkait putusan MK ini dianggap menyalahi dari UUD 1945," tambahnya.
Salehuddin juga menyerukan peran aktif pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dan DPR RI, untuk segera merumuskan tindak lanjut dalam bentuk aturan teknis dan penyesuaian hukum.
Tanpa adanya kepastian normatif dan petunjuk teknis yang jelas, putusan MK berisiko menjadi sumber kebingungan di tengah pelaksanaan sistem demokrasi yang kian kompleks dan dinamis.
"Tinggal bagaimana pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM bersama DPR RI yang notabene punya hak untuk melaksanakan pembentukan perundang-undangan, sejauh mana mereka bisa menafsirkan sekaligus juga membuat aturan teknis terkait putusan itu. Walaupun ini sebenarnya tetap berjalan memang ada pro kontra di masyarakat," terangnya. (Adv)
(Sf/Rs)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Maulana -
DPRD Provinsi Kalimantan Timur
Anggota DPRD Kaltim, Salehuddin. (Foto: Maulana/Seputarfakta.com)
Samarinda - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 26 Juni 2025, secara resmi mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait tumpang tindih antara pemilu nasional dan daerah.
Putusan ini mewajibkan pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, dengan Pemilu Presiden, DPR, dan DPD dilakukan lebih dahulu, sementara Pemilu Gubernur, Bupati, Wali Kota, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan paling lambat dua tahun enam bulan kemudian.
Keputusan ini secara langsung mengubah skema Pilkada Serentak yang selama ini dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu nasional. Konsekuensinya, pelaksanaan Pilkada berikutnya diperkirakan mundur ke tahun 2031, dua tahun setelah Pemilu Nasional 2029.
Putusan MK ini sontak memicu perdebatan serius di berbagai lini, termasuk di kalangan legislatif daerah. Salah satu yang menyoroti adalah Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin. Ia memandang putusan tersebut sebagai isyarat penting untuk menata ulang sistem demokrasi nasional secara lebih mendalam dan menyeluruh.
Menurut Salehuddin, implikasi dari amar putusan MK ini tak bisa dipandang sebatas aspek teknis Pemilu. Sebaliknya, keputusan ini menyentuh ranah fundamental yang menuntut penyesuaian menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Yang pasti memang justru yang menjadi pertanyaan itu pasca keluarnya putusan ini dengan beberapa konsekuensinya," ucap Salehuddin saat ditemui di Kantor DPRD Kaltim, beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, Fraksi Partai Golkar di DPRD Kaltim, tempat Salehuddin kini menjabat sebagai Sekretaris Komisi I, telah lebih dahulu melakukan kajian internal mengenai konsekuensi dari putusan tersebut.
Bahkan, menurut Salehuddin, Fraksi Golkar DPRD Kaltim telah melakukan komunikasi langsung dengan struktur partai di tingkat pusat.
"Kebetulan kami Fraksi Golkar DPRD Kaltim beberapa waktu lalu juga bertemu langsung dengan Sekjen DPP Golkar sekaligus dengan Fraksi Golkar DPR RI, diskusi juga dengan putusan MK tersebut," jelasnya.
Salehuddin menekankan pentingnya menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif tertinggi. Namun, ia juga menyoroti munculnya sejumlah pertanyaan krusial pasca-putusan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan kesinambungan sistem hukum dan arah politik nasional.
Ada dua aspek utama, menurut Salehuddin, yang perlu dicermati secara serius, yakni pertama, menyangkut kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.
Salehuddin mempertanyakan apakah publik masih percaya bahwa MK adalah salah satu instrumen tinggi negara yang memang berhak untuk mengadili permasalahan hukum.
Sifat final dan mengikat dari setiap keputusan MK, jelas Salehuddin, seharusnya mendorong seluruh elemen negara untuk patuh, namun juga harus diiringi dengan upaya untuk menjaga legitimasi lembaga tersebut.
"Yang pertama, apakah kita masih percaya bahwa MK itu adalah salah satu instrumen tinggi negara yang memang berhak untuk mengadili permasalahan hukum. Artinya, keputusan MK ini bersifat final dan mengikat," katanya.
Kedua, adalah konsekuensi regulatif dari putusan itu. Bila keputusan MK diterima sebagai norma baru, maka diperlukan langkah konkret berupa revisi terhadap sejumlah aturan.
Revisi ini bisa mencakup Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, bahkan berpotensi menyentuh Undang-Undang Dasar 1945.
Salehuddin menekankan bahwa selama ini tafsir atas keserentakan Pemilu telah mengakar dalam aturan konstitusional.
"Yang kedua, kalau kita percaya, otomatis apapun amar putusan yang disampaikan ini, mau tidak mau kita harus tindak lanjuti dalam bentuk mungkin perubahan revisi partai di Pemilu, termasuk UUD 1945, karena selama ini yang tidak menyetujui terkait putusan MK ini dianggap menyalahi dari UUD 1945," tambahnya.
Salehuddin juga menyerukan peran aktif pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dan DPR RI, untuk segera merumuskan tindak lanjut dalam bentuk aturan teknis dan penyesuaian hukum.
Tanpa adanya kepastian normatif dan petunjuk teknis yang jelas, putusan MK berisiko menjadi sumber kebingungan di tengah pelaksanaan sistem demokrasi yang kian kompleks dan dinamis.
"Tinggal bagaimana pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM bersama DPR RI yang notabene punya hak untuk melaksanakan pembentukan perundang-undangan, sejauh mana mereka bisa menafsirkan sekaligus juga membuat aturan teknis terkait putusan itu. Walaupun ini sebenarnya tetap berjalan memang ada pro kontra di masyarakat," terangnya. (Adv)
(Sf/Rs)