Cari disini...
Seputarfakta.com - Umar Daud -
DPRD Kota Samarinda
Anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda, Abdul Rohim (Foto : Umar Daud/Seputarfakta.com)
Samarinda - Anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda, Abdul Rohim menyoroti kompensasi korban terdampak pengerjaan di Terowongan Selili Samarinda berkisar Rp5 juta per rumah.
Rohim menegaskan ganti rugi tidak serta-merta dihitung berdasarkan kelayakan yang diberikan kepada korban, melainkan menghitung secara detail jumlah kerusakan dan kerugian per individu.
Oleh karena itu, dirinya menekankan agar pihak kontraktor maupun pemerintah bertanggung jawab mengevaluasi secara mendalam guna mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari proyek terowongan tersebut.
"Jadi mestinya diganti sesuai dengan nilai kerusakan. Jadi tidak bisa misalnya ganti Rp5 juta saja. Kalau ternyata kerusakannya melebihi itu kan masyarakat yang dirugikan," terang Rohim, Sabtu (18/10/2025).
Dia bilang aturannya jelas, merujuk pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur tanggung jawab penyedia jasa konstruksi, termasuk kewajiban ganti rugi akibat kegagalan bangunan.
"Karena yang diatur di undang-undang itu bukan nilainya sekian-sekian, tapi melakukan ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang terjadi. Apalagi posisinya berdekatan dengan kawasan permukiman," terangnya.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah maupun pihak kontraktor tidak asal memberikan ganti rugi tanpa adanya analisa terlebih dahulu.
"Sebab kerusakan yang dialami per orang tidak sama. Makanya perlu dikaji berap kisaran ganti rugi atau kompensasi yang harus diberikan kepada korban," tandasnya. (Adv)
(Sf/Lo)
Tim Editorial
Cari disini...
Seputarfakta.com - Umar Daud -
DPRD Kota Samarinda
Anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda, Abdul Rohim (Foto : Umar Daud/Seputarfakta.com)
Samarinda - Anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda, Abdul Rohim menyoroti kompensasi korban terdampak pengerjaan di Terowongan Selili Samarinda berkisar Rp5 juta per rumah.
Rohim menegaskan ganti rugi tidak serta-merta dihitung berdasarkan kelayakan yang diberikan kepada korban, melainkan menghitung secara detail jumlah kerusakan dan kerugian per individu.
Oleh karena itu, dirinya menekankan agar pihak kontraktor maupun pemerintah bertanggung jawab mengevaluasi secara mendalam guna mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari proyek terowongan tersebut.
"Jadi mestinya diganti sesuai dengan nilai kerusakan. Jadi tidak bisa misalnya ganti Rp5 juta saja. Kalau ternyata kerusakannya melebihi itu kan masyarakat yang dirugikan," terang Rohim, Sabtu (18/10/2025).
Dia bilang aturannya jelas, merujuk pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur tanggung jawab penyedia jasa konstruksi, termasuk kewajiban ganti rugi akibat kegagalan bangunan.
"Karena yang diatur di undang-undang itu bukan nilainya sekian-sekian, tapi melakukan ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang terjadi. Apalagi posisinya berdekatan dengan kawasan permukiman," terangnya.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah maupun pihak kontraktor tidak asal memberikan ganti rugi tanpa adanya analisa terlebih dahulu.
"Sebab kerusakan yang dialami per orang tidak sama. Makanya perlu dikaji berap kisaran ganti rugi atau kompensasi yang harus diberikan kepada korban," tandasnya. (Adv)
(Sf/Lo)